Senin, 26 Mei 2014

Air Mata (Sebuah Cerpen Gelap)

Penulis: Gema ds

Air Mata
Aku tengah menunggu / Menunggu? / Ya / Sesuatu? / Entah / Seseorang / Entah /
Menunggu entah. Dari kelam yang ada di depanmu? /
Segala bermula dari kelam / Ting! *)
       Mala terdiam. Dia lemas. Terduduk. Mala sudah mencari-cari. Sudah ke sana ke mari. Air mata tak kunjung ditemukannya. Padahal waktu-waktu sudah dihimpunnya kembali. Agar terpisah antara waktu bahagia dan waktu berduka. Antara waktu bibir merekah dan waktu seringai memerah. Agar mudah menemukan air matanya. Tapi tetap saja. Sama. Air mata tak kunjung ditemukannya.

       Mala tak mengerti. Lalu ia putuskan kembali bergerak dari tempatnya. Mencari tangis-tangis, mencari luka-luka, mencari duka-duka. Mala bertanya-tanya. Pada kaki bangku yang hampir patah. Pada bekas permen karet di kursi panjang itu. Kain lap yang dijemur. Kertas bekas bungkus nasi pecel lima ribu-an. Tapi sulit sekali. Tak ada yang menyahut. Tak ada yang menjawab. Semua diam. Mala terdiam.
       Di mana!? Di mana air mata? Hampir putus asa. Tapi belum putus asa. Dia kembali menelusur jalan. Tersenyum-senyum sendiri. Kadang tertawa. Bahkan terbahak sampai tersedak. Dan bungkam sejuta kata.
       Jalan bata itu.... Sebentar lagi sampai ujung. Tinggal memilih. Ke kiri atau ke kanan? Mala diam sejenak. Berpikir. Ke kiri atau ke kanan? Ah, dia ingat kata ibunya, yang baik-baik selalu ada di kanan. Mala menemukan jawaban. Ke kiri atau ke kanan? Lantas dia berjalan ke arah kiri. Dia mencari air mata. Pikirnya akan lebih mudah mencari air mata di tempat yang buruk-buruk.
       Mala berjalan. Hampir gontai, jika saja dia tidak mendengar suara tangis bayi di sana. Semangatnya kembali. Dia berlari. Menuju sesuatu yang berbalut kain itu. Masih merah. Tak ada ibu tak ada bapak. Itu tangis duka. Mala tahu. Bapaknya pasti pergi meninggalkan ibunya terlebih dahulu, dan hilang. Ibunya pasti lari terbirit setelah memastikan bayinya tertidur tak bersuara, dan hilang. Mala tahu. Ayah dan ibu bayi itu menghilang. Mala jadi teringat. Buah pertemuan indung telurnya dengan satu sel sperma lelaki yang (dulu pernah) dicintainya.
       Mala membentangkan waktu yang dihimpunnya. Dia telusuri waktu-waktu bersamanya. Teringat. Saat dirinya dalam keadaan telanjang di atas tempat tidur bergambar Winnie the Pooh itu. Saat dia menoleh ke jendela dan cahaya pagi medesak masuk ke balik gorden.  Saat seorang lelaki masih tertidur pulas di sampingnya.
       Lelaki (yang sebentar lagi jadi bapak) yang tersenyum. Ibu yang tak mampu berbuat apa-apa saat melihat dua garis merah pada benda kecil itu. Lelaki (yang sudah menjadi bapak) yang mimik wajahnya berubah. Ibu yang tersentak saat sesuatu itu menendang dari dalam perutnya. Bapak yang mulai sulit dihubungi. Ibu yang ingin makan es dawet di tengah malam. Bapak yang mulai tak peduli. Ibu yang ingin lebih tak peduli. Bapak yang tak bisa dihubungi. Ibu yang ke rumah sakit sendirian sambil meringis memegang perut. Bapak yang menghilang. Ibu yang kehilangan orang yang dicintainya. Ibu yang kebingungan. Ibu yang tak bisa lagi berpikir. Ibu yang membalut bayi merahnya itu dengan kain. Ibu yang memastikan bayinya tertidur tak bersuara. Ibu yang lari terbirit. Ibu yang menghilang. Ibu yang kehilangan air mata.
       Itu bayi Mala!
       Itu bayi Mala. Tapi Mala tak tahu. Bayi buah pertemuan indung telurnya dan sel sperma lelaki (yang dulu) dicintainya. Telanjang di atas tempat tidur bergambar Winnie the Pooh itu. Bersama. Malam yang melelahkan. Lalu cahaya pagi medesak masuk ke balik gorden.
       Itu bayi Mala!
       Itu bayi Mala. Tapi Mala tak tahu. Mala mendekat. Tangannya mengulur. Bayi itu digendongnya. Bayi itu berhenti menangis. Bayi itu tahu berada dalam dekapan ibunya. Bayi itu sekarang merasa dirinya aman.
       Mala ingin tangisan. Mala ingin air mata. Mala tak mengerti kenapa bayi itu berhenti menangis. Mala tak tahu bahwa bayi itu berada dalam dekapan ibunya. Mala tak tahu bahwa bayi itu sekarang merasa aman. Itu bayi Mala. Tapi Mala tak tahu.
       Mala geram. Dia menggoncang tubuh bayi itu. Mala hanya ingin belajar bagaimana cara mengeluarkan air mata. Bayi itu diam saja. Hanya suara napas sesak terdengar. Bayi itu diam saja. Suara napas sesak itu tak terdengar lagi. Bayi itu diam saja. Tubuh digendongan itu membiru.
       Itu bayi Mala!
       Itu bayi Mala. Tapi Mala tak tahu. Mala terdiam. Dia lemas. Terduduk. Bayi yang digendongannya berubah menjadi abu. Mala terdiam. Dia lemas. Terduduk. Abu itu terbang melayang ditiup angin. Kepada siapa lagi Mala bertanya!? Mala terdiam. Dia lemas. Terduduk. Itu bayi Mala. Tapi Mala tak tahu.
       Abu yang terbang itu bayi Mala!
       Abu yang terbang itu bayi Mala. Tapi Mala tak tahu. Tatapannya mengikuti arah abu itu melayang. Hingga akhirnya menggumpal, membentuk awan hitam di langit. Gerimis. Atau gerimis itu adalah abu terbang yang menangis? Di langit bayi Mala menangis? Mala tak tahu. Dia kehilangan rasa itu. Mala kehilangan air mata. Atau Mala menghilangkan air mata? Abu yang terbang itu bayi Mala. Tapi Mala tak tahu.
       Itu bayi Mala!
***
       Itu bayimu!
       Itu bayiku. Tapi aku tak tahu. Aku terdiam. Aku lemas. Terduduk. Bayi yang kugendong berubah menjadi abu. Aku terdiam. Aku lemas. Terduduk. Abu itu terbang melayang ditiup angin. Kepada siapa lagi aku bertanya!? Aku terdiam. Aku lemas. Terduduk. Itu bayiku. Tapi aku tak tahu.
       Abu yang terbang itu bayimu!
       Abu yang terbang itu bayiku. Tapi aku tak tahu. Tatapanku mengikuti arah abu itu melayang. Hingga akhirnya menggumpal, membentuk awan hitam di langit. Gerimis. Atau gerimis itu adalah abu terbang yang menangis? Di langit bayiku menangis? Aku tak tahu. Aku kehilangan rasa itu. Aku kehilangan air mata. Atau aku menghilangkan air mata? Abu yang terbang itu bayiku. Tapi aku tak tahu.
       Aku terdiam. Aku lemas. Terduduk. Aku sudah mencari-cari. Sudah ke sana ke mari. Air mata tak kunjung kutemukan. Padahal waktu-waktu sudah kuhimpun kembali. Agar terpisah antara waktu bahagia dan waktu berduka. Antara waktu bibir merekah dan waktu seringai memerah. Agar mudah menemukan air mataku. Tapi tetap saja. Sama. Air mata tak kunjung kutemukan.
       Aku tak mengerti. Lalu kuputuskan kembali bergerak dari tempatku. Mencari tangis-tangis, mencari luka-luka, mencari duka-duka. Aku bertanya-tanya. Pada kaki bangku yang hampir patah. Pada bekas permen karet di kursi panjang itu. Kain lap yang dijemur. Kertas bekas bungkus nasi pecel lima ribu-an. Tapi sulit sekali. Tak ada yang menyahut. Semua diam. Aku terdiam.
       Hingga, saat aku bertanya pada jam kecil di tepi jalan itu, barulah kutemukan sahutan. Ada harapan! Tapi sayang, Aku tak mengerti. Apakah suka? Apakah duka? Apakah tawa? Apakah luka? Apakah tahu di mana air mata? Apakah tahu ke mana air mata? Aku hanya mendengar celotehan jarum jam yang hampir menunjukkan pukul 01:00:
Aku tengah menunggu / Menunggu? / Ya / Sesuatu? / Entah / Seseorang / Entah /
Menunggu entah. Dari kelam yang ada di depanmu? /
Segala bermula dari kelam / Ting! *)

Palangkaraya, 20 April 2014, 14:45:38
Untuk semua waktu yang terbuang
*) Cuplikan dialog lakon Cabik karya Muh. Ibrahim Ilyas

1 komentar:

  1. A Las Vegas casino and a sports betting - Dr.MCD
    With 여주 출장샵 so many of those new casinos 하남 출장샵 opening up to sports 군포 출장마사지 betting, including a $4 billion sportsbook and casino, that's the 원주 출장마사지 type of 강릉 출장마사지 deal Las Vegas

    BalasHapus