Kinasih
Rahmina
G_ds
Percuma kau memaksaku untuk
mengakhiri semuanya. Per-cu-ma. Setiap kata yang kutulis belum mewakili semua
yang ada di kepalaku. Aku tak akan mengakhirinya.
Jadi, kamu tak ingin berhenti? Kalau begitu aku yang akan
menghentikannya:
--TAMAT--
Hei, kau pikir dengan kata
itu, kau bisa mengakhiri tulisanku. Seribu kata TAMAT pun tak ada pengaruhnya
bagi tulisanku. Kau seharusnya diam, tak perlu ikut campur dalam tulisan ini.
Kau hanya tokoh rekaan. Jangan protes!
Aku protes! Kamu tak pernah jelas dalam mendeskripsikanku. Aku tak
punya nama. Aku tak punya sifat. Bahkan setiap kali aku bercermin, aku tak
pernah bisa melihat wajahku, aku tak berbentuk, aku tak melihat apa-apa.
Begitukah seorang penulis? Bodoh!
Hahaha, siapa yang bodoh? Kau atau aku? Aku
atau kau? Siapa? Kau yang bodoh. Kau
bercermin, padahal kau sendiri tak melihat apa-apa, aku pun tak pernah
menciptkan cermin dalam ceritaku. Lagipula aku bukan penulis, tak ada kewajiban
bagiku untuk mendeskripsikanmu.
Jadi kamu bukan penulis? Beraninya kamu menciptakanku! Keluarkan aku
sekarang!
Bodoh! Mengeluarkanmu dari
ceritaku? Itu tak mungkin, kau sudah kuciptakan untuk membangun cerita ini. Kau
sudah terikat. Kau harus ikut aturanku, tak boleh ikut campur. Ingat! Kau hanya
tokoh rekaan imajinasiku. Mengerti?
Tidak! Kalau kamu tak mau mengeluarkanku. Aku akan keluar dengan caraku
sendiri:
--TAMAT--
Hahaha… kau ini benar-benar
tokoh yang sangat bodoh! Kan sudah kukatakan, seribu kata TAMAT pun tak ada
pengaruhnya bagi tulisanku. Percuma. Per-cu-ma.
--TAMAT--
--TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT--
--TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT--
--TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT--
--TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT--
Hei, berhenti! Cukup! Kau
hanya membuang waktu, 32 kata TAMAT-mu itu tetap tak ada pengaruhnya. Sudahlah,
ikuti saja aturanku.
Oke, kau ingin kejelasan
kan? Sekarang kau akan kuberi nama. Namamu adalah Kirana.
Kirana? Jadi aku sekarang menjadi seorang wanita? Baiklah, aku akan
mengikutimu, asalkan ceritamu jelas saja. Aku tak sudi berperan menjadi tokoh
yang tak jelas dalam cerita yang tak jelas.
Aku bukan penulis. Jelas
atau tidak ceritaku, itu urusanku. Kau ikuti saja aturanku. Kau adalah Kirana,
dan kau seorang wanita. Akan kumulai cerita ini:
Sekarang kau berada di
sebuah lorong gelap, hanya lilin di tanganmu sebagai penerangan. Cahaya
seadanya. Kau tak bisa melihat di mana ujung lorong itu. Putus asa. Diam
meringkuk, hingga lilin itu mati dan gelap menyelimuti…
Hentikan!
Oh ya, maaf.
Kirana berada di sebuah
lorong gelap, hanya lilin ditangannya sebagai penerangan. Cahaya seadanya. Kirana
tak bisa melihat di mana ujung lorong itu. Putus asa. Diam meringkuk, hingga
lilin itu mati dan gelap menyelimuti…
Aahhh! Bukan sudut pandang penulisan yang aku permasalahkan. Tapi latar
tempat! Aku ini wanita, kenapa kamu posisikan aku pada tempat yang mengerikan
seperti ini. Aku wanita, aku takut gelap.
Takut? Bahkan aku belum
menciptakan rasa takut untukmu. Bagaimana bisa kau memiliki rasa takut.
Sudahlah Kirana, kau hanya tokoh rekaan, tokoh imajinasiku. Lagipula tidak
semua wanita takut dengan gelap.
Aku takut, rasa itu ada padaku. Terlepas antara kamu ciptakan atau
tidak, rasa itu melekat padaku.
Jangan mengada-ngada, aku tak pernah
menciptakan rasa takut untukmu.
Aku tokoh imajinasimu. Kamu sendiri yang mengatakannya, kan? Dalam
imajinasimu, aku takut gelap. Dan aku… oh! Aku masih belum berbentuk. Deskripsikan
aku!
Untuk apa? Kenapa kau banyak sekali permintaan?
Deskripsi fisik itu tak penting, yang terpenting dalam sebuah cerita adalah
cerita itu sendiri. Aku mulai lagi ceritaku:
Gelap menyelimuti Kirana,
air matanya tak lagi bisa terlihat, darah yang mengalir membuat wajahnya
semakin pucat. Lidahnya kelu. Dengung pada…
Cukup! Bahkan kamu membuat air mataku mengalir, terluka, berdarah, dan
sekarat. Apakah hanya ada duka dan luka dalam imajinasimu? Atau apakah kamu
takut jika kamu mendeskripsikan fisikku kamu akan semakin terluka? Kenapa? Akukah
pelampiasan dari segala lukamu? Jawab!
Diam! Itu urusanku. Kau selalu ikut campur, aku
yang menulis cerita ini, aku punya hak untuk melakukan apa saja pada setiap
tokoh yang aku tulis. Kau ciptaanku, kau lahir dari imajinasiku.
Dan imajinasimu penuh dengan luka, duka, dan kematian! Aaahh… aku
mengerti sekarang. Kamu takut mendeskripsikanku karena kamu tahu bahwa setiap
kali kamu ingin menuliskan deskripsi fisik tentangku, pasti bayang wajahnya
yang selalu teringat. Kamu takut aku akan menjelma dia di masa lalumu itu.
Begitu kan?
Diam! Aku punya hak untuk
menulisnya atau tidak. Deskripsi fisik itu tidak penting!
Begitu takutnyakah kamu? Mengapa tidak kamu ciptakan saja wajah baru? Sosok
baru? Benar-benar baru!? Ah iya, itu tidak mungkin. Semua penulis adalah
peniru. Plagiator! Tak ada tulisan manusia yang benar-benar murni ciptaanya.
Tak ada fantasi yang benar-benar fantasi, semua dari kenyataan, kenangan. Kenyataan
hidup, kenangan masa lalu. Kenyataan yang ditiru dan dimodifikasi pula
berdasarkan kenyataan. Semua penulis hanya omong kosong! Peniru! Plagiator!
Apa maumu? Kamu bicara apa?
Berhenti kau menghina penulis, tanpa penulis kamu hanyalah sesuatu yang
terkurung dalam imaji. Dan meniru kenyataan atau kenangan itu bukanlah plagiat!
Kenapa kau ini? Kau gila!
Hahaha… akhirnya kamu mengakui bahwa kamu penulis. Hei penulis, siapa
yang gila? Aku atau kamu? Kamu atau aku? Kamu yang gila. Kamu berbicara
denganku. Sebuah tokoh rekaan yang tak jelas. Benda mati, benda hidup, padat,
cair, gas, apa? Tokoh yang tak pernah terlihat fisiknya sebab sang penulisnya
tak pernah berani menuliskannya.
Bukan, aku bukan penulis. Tak ada penulis yang
mengekang imajinasinya. Maka itu aku tak pernah mengatakan bahwa aku penulis. Iya,
aku memang takut kalau wajahnya hadir dalam tulisanku. Dan kau seharusnya
mengikuti aturanku! Kurang ajar!
Berhenti menghinaku!
Aku tak menghinamu. Kau yang menghinaku.
Aku
imajinasimu. Aku liar, sebab imajinasimu terlalu liar. Kamu tahu? Aku Kirana
yang tanpa kamu sadari telah membentuk sifat dan keadaan ‘dia’ di masa lalumu.
Aku takut gelap, sebab dia takut gelap. Aku menangis, berdarah, sekarat, sebab
kamu ada di sisinya saat napas itu berakhir. Aku bernama Kirana, sebab Kirana
adalah…
Diam! Jangan sebut namanya. Sudahlah, aku
berhenti. Aku menyerah. Aku tak ingin menulis lagi. Itu yang kau mau, bukan?
Aku akhiri semuanya….
Apa? Tunggu dulu! Aku ingin wujudku sempurna dalam tulisan ini, aku
ingin melihat wajahku di cermin. Bentuklah wajahku! Mengapa kamu begitu takut?
Aku takut bukan berarti
takut. Aku hanya ingin dia tetap suci dalam kenanganku, dalam imajinasiku.
Biarkan wajahnya tetap berada di sana. Selamanya. Sekarang kau mengerti, kan?
Kau adalah Kirana. Kirana takut gelap. Kirana bahagia di surga.
Kirana takut gelap. Kirana bahagia di surga.
Dia takut gelap. Dia bahagia
di surga….
201413
Tidak ada komentar:
Posting Komentar