Minggu, 15 Mei 2016

Kinasih Rahmina (Cerpen Eksperimental)



Kinasih Rahmina
G_ds
       Percuma kau memaksaku untuk mengakhiri semuanya. Per-cu-ma. Setiap kata yang kutulis belum mewakili semua yang ada di kepalaku. Aku tak akan mengakhirinya. 
       Jadi, kamu tak ingin berhenti? Kalau begitu aku yang akan menghentikannya:
--TAMAT--
       Hei, kau pikir dengan kata itu, kau bisa mengakhiri tulisanku. Seribu kata TAMAT pun tak ada pengaruhnya bagi tulisanku. Kau seharusnya diam, tak perlu ikut campur dalam tulisan ini. Kau hanya tokoh rekaan. Jangan protes!
       Aku protes! Kamu tak pernah jelas dalam mendeskripsikanku. Aku tak punya nama. Aku tak punya sifat. Bahkan setiap kali aku bercermin, aku tak pernah bisa melihat wajahku, aku tak berbentuk, aku tak melihat apa-apa. Begitukah seorang penulis? Bodoh!

       Hahaha, siapa yang bodoh? Kau atau aku? Aku atau kau?  Siapa? Kau yang bodoh. Kau bercermin, padahal kau sendiri tak melihat apa-apa, aku pun tak pernah menciptkan cermin dalam ceritaku. Lagipula aku bukan penulis, tak ada kewajiban bagiku untuk mendeskripsikanmu.
       Jadi kamu bukan penulis? Beraninya kamu menciptakanku! Keluarkan aku sekarang!
       Bodoh! Mengeluarkanmu dari ceritaku? Itu tak mungkin, kau sudah kuciptakan untuk membangun cerita ini. Kau sudah terikat. Kau harus ikut aturanku, tak boleh ikut campur. Ingat! Kau hanya tokoh rekaan imajinasiku. Mengerti?
       Tidak! Kalau kamu tak mau mengeluarkanku. Aku akan keluar dengan caraku sendiri:
--TAMAT--
       Hahaha… kau ini benar-benar tokoh yang sangat bodoh! Kan sudah kukatakan, seribu kata TAMAT pun tak ada pengaruhnya bagi tulisanku. Percuma. Per-cu-ma.
--TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT-- --TAMAT--
       Hei, berhenti! Cukup! Kau hanya membuang waktu, 32 kata TAMAT-mu itu tetap tak ada pengaruhnya. Sudahlah, ikuti saja aturanku.
       Oke, kau ingin kejelasan kan? Sekarang kau akan kuberi nama. Namamu adalah Kirana.
       Kirana? Jadi aku sekarang menjadi seorang wanita? Baiklah, aku akan mengikutimu, asalkan ceritamu jelas saja. Aku tak sudi berperan menjadi tokoh yang tak jelas dalam cerita yang tak jelas.
       Aku bukan penulis. Jelas atau tidak ceritaku, itu urusanku. Kau ikuti saja aturanku. Kau adalah Kirana, dan kau seorang wanita. Akan kumulai cerita ini:
       Sekarang kau berada di sebuah lorong gelap, hanya lilin di tanganmu sebagai penerangan. Cahaya seadanya. Kau tak bisa melihat di mana ujung lorong itu. Putus asa. Diam meringkuk, hingga lilin itu mati dan gelap menyelimuti…
       Hentikan!
       Oh ya, maaf.
       Kirana berada di sebuah lorong gelap, hanya lilin ditangannya sebagai penerangan. Cahaya seadanya. Kirana tak bisa melihat di mana ujung lorong itu. Putus asa. Diam meringkuk, hingga lilin itu mati dan gelap menyelimuti…
       Aahhh! Bukan sudut pandang penulisan yang aku permasalahkan. Tapi latar tempat! Aku ini wanita, kenapa kamu posisikan aku pada tempat yang mengerikan seperti ini. Aku wanita, aku takut gelap.
       Takut? Bahkan aku belum menciptakan rasa takut untukmu. Bagaimana bisa kau memiliki rasa takut. Sudahlah Kirana, kau hanya tokoh rekaan, tokoh imajinasiku. Lagipula tidak semua wanita takut dengan gelap.
       Aku takut, rasa itu ada padaku. Terlepas antara kamu ciptakan atau tidak, rasa itu melekat padaku.
       Jangan mengada-ngada, aku tak pernah menciptakan rasa takut untukmu.
       Aku tokoh imajinasimu. Kamu sendiri yang mengatakannya, kan? Dalam imajinasimu, aku takut gelap. Dan aku… oh! Aku masih belum berbentuk. Deskripsikan aku!
       Untuk apa? Kenapa kau banyak sekali permintaan? Deskripsi fisik itu tak penting, yang terpenting dalam sebuah cerita adalah cerita itu sendiri. Aku mulai lagi ceritaku:
       Gelap menyelimuti Kirana, air matanya tak lagi bisa terlihat, darah yang mengalir membuat wajahnya semakin pucat. Lidahnya kelu. Dengung pada…
       Cukup! Bahkan kamu membuat air mataku mengalir, terluka, berdarah, dan sekarat. Apakah hanya ada duka dan luka dalam imajinasimu? Atau apakah kamu takut jika kamu mendeskripsikan fisikku kamu akan semakin terluka? Kenapa? Akukah pelampiasan dari segala lukamu? Jawab!
       Diam! Itu urusanku. Kau selalu ikut campur, aku yang menulis cerita ini, aku punya hak untuk melakukan apa saja pada setiap tokoh yang aku tulis. Kau ciptaanku, kau lahir dari imajinasiku.
       Dan imajinasimu penuh dengan luka, duka, dan kematian! Aaahh… aku mengerti sekarang. Kamu takut mendeskripsikanku karena kamu tahu bahwa setiap kali kamu ingin menuliskan deskripsi fisik tentangku, pasti bayang wajahnya yang selalu teringat. Kamu takut aku akan menjelma dia di masa lalumu itu. Begitu kan?
       Diam! Aku punya hak untuk menulisnya atau tidak. Deskripsi fisik itu tidak penting!
       Begitu takutnyakah kamu? Mengapa tidak kamu ciptakan saja wajah baru? Sosok baru? Benar-benar baru!? Ah iya, itu tidak mungkin. Semua penulis adalah peniru. Plagiator! Tak ada tulisan manusia yang benar-benar murni ciptaanya. Tak ada fantasi yang benar-benar fantasi, semua dari kenyataan, kenangan. Kenyataan hidup, kenangan masa lalu. Kenyataan yang ditiru dan dimodifikasi pula berdasarkan kenyataan. Semua penulis hanya omong kosong! Peniru! Plagiator!
       Apa maumu? Kamu bicara apa? Berhenti kau menghina penulis, tanpa penulis kamu hanyalah sesuatu yang terkurung dalam imaji. Dan meniru kenyataan atau kenangan itu bukanlah plagiat! Kenapa kau ini? Kau gila!
       Hahaha… akhirnya kamu mengakui bahwa kamu penulis. Hei penulis, siapa yang gila? Aku atau kamu? Kamu atau aku? Kamu yang gila. Kamu berbicara denganku. Sebuah tokoh rekaan yang tak jelas. Benda mati, benda hidup, padat, cair, gas, apa? Tokoh yang tak pernah terlihat fisiknya sebab sang penulisnya tak pernah berani menuliskannya.
       Bukan, aku bukan penulis. Tak ada penulis yang mengekang imajinasinya. Maka itu aku tak pernah mengatakan bahwa aku penulis. Iya, aku memang takut kalau wajahnya hadir dalam tulisanku. Dan kau seharusnya mengikuti aturanku! Kurang ajar!
       Berhenti menghinaku!
       Aku tak menghinamu. Kau yang menghinaku.   
       Aku imajinasimu. Aku liar, sebab imajinasimu terlalu liar. Kamu tahu? Aku Kirana yang tanpa kamu sadari telah membentuk sifat dan keadaan ‘dia’ di masa lalumu. Aku takut gelap, sebab dia takut gelap. Aku menangis, berdarah, sekarat, sebab kamu ada di sisinya saat napas itu berakhir. Aku bernama Kirana, sebab Kirana adalah…
       Diam! Jangan sebut namanya. Sudahlah, aku berhenti. Aku menyerah. Aku tak ingin menulis lagi. Itu yang kau mau, bukan? Aku akhiri semuanya….
       Apa? Tunggu dulu! Aku ingin wujudku sempurna dalam tulisan ini, aku ingin melihat wajahku di cermin. Bentuklah wajahku! Mengapa kamu begitu takut?
       Aku takut bukan berarti takut. Aku hanya ingin dia tetap suci dalam kenanganku, dalam imajinasiku. Biarkan wajahnya tetap berada di sana. Selamanya. Sekarang kau mengerti, kan? Kau adalah Kirana. Kirana takut gelap. Kirana bahagia di surga.
       Kirana takut gelap. Kirana bahagia di surga.
       Dia takut gelap. Dia bahagia di surga….
      
201413

Tidak ada komentar:

Posting Komentar