Hubungan
Intertekstual Puisi
Wahai Pemuda Mana
Telurmu?
karya Sutardji Calzoum Bachri
dengan
Wahai Pemuda Mana Telurmu?
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?
Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?
Burung jika tak bertelur
Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas
Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga
Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan
Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir
Setelah kurenung-renung
Manusia adalah burung merenung
Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur
Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah
Wahai para pemuda
Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!
Menetaslah
Seperti
dulu
Para
pemuda
Bertelur
emas
Menetas
kau
Dalam
sumpah mereka
Tentang Kemerdekaan
Karya: Soe Hok Gie
Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan
Yang tak pernah berakhir,
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau
rintis
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan
pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita
Adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah
Manusia terbebas.
Jelas dapat kita lihat sebuah persamaan
gagasan dalam puisi “Wahai Pemuda Mana Telurmu?” karya Sutardji Calzoum Bachri
dengan puisi “Tentang Kemerdekaan” karya Soe Hok Gie, yaitu menjelaskan tentang
hakikat sebenarnya dari kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Akan tetapi, Sutardji
Calzoum Bachri menguraikan gagasannya tersebut dengan bentuk penafsiran yang
lebih rumit dibandingkan dengan Soe Hok Gie.
Lebih jauh lagi, dalam puisi “Wahai
Pemuda Mana Telurmu?” mengandung penjelasan tentang hakikat bagaimana
mempertahankan arti kemerdekaan, sedang dalam puisi “Tentang Kemerdekaan”
menjelaskan tentang hakikat bagaimana perjuangan para pahlawan merebut
kemerdekaan. Hal ini terjadi karena kedua puisi tersebut ditulis dalam zaman
yang berbeda. Soe Hok Gie menulisnya pada saat-saat awal kemerdekaan Indonesia,
sedangkan Sutardji C. Bachri munulis puisinya saat Indonesia telah lama
merdeka. Jadi, dapat kita ketahui bahwa puisi Sutardji C. Bachri ini terkesan
melanjutkan puisi dari Soe Hok Gie.
Pada
puisi karya Soe Hok Gie, “Tentang Kemerdekaan”. Pada puisi tersebut kemerdekaan
terwujud melalui sebuah perjuangan para pahlawan, seperti pada kutipan puisi
berikut, /Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup/.
Pada perjalanan suatu bangsa, seiring
dengan perubahan waktu, hakikat kemerdekaan pun berubah sedikit demi sedikit.
Merdeka zaman sekarang bukan hanya sekedar bagaimana meraih kebebasan, namun
bagaimana cara mempertahankan kebebasan tersebut, seperti pada potongan bait
ini /apa gunanya merdeka/, /kalau tak bertelur?/. Maksudnya, jika kita hanya
menikmati kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pejuang dahulu, tanpa
ada rasa ingin untuk “meregenerasi” para pejuang Indonesia, dengan cara
menghasilkan karya-karya yang membuat nama bangsa Indonesia semakin harum, dan
semakin berpengaruh di mata dunia, apalah arti kemerdekaan.
Regenerasi para pejuang
sebenarnya telah dibahas oleh Soe Hok Gie, namun ‘regenerasi’ tersebut sedikit
berbeda caranya seperti yang diungkapkan Sutardji C. Bachri, walaupun pada
intinya memiliki kesamaan gagasan (mempertahankan kemerdekaan). Pada bait ke-5
dan ke-6, /tapi satu tugas kita semua/ /menanamkan benih-benih kejantanan yang
telah kau rintis/. Menurutnya, kita (sebagai orang tua) harus menanamkan
semangat pantang putus asa dan keberanian seperti para pejuang dalam merebut
kemerdekaan, dan tentunya keberanian ini bukan untuk kembali menyulut
peperangan, melainkan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pada puisi
“Tentang Kemerdekaan” baris ke-15 dan ke-16, /dalam matinya kita semua adalah/,
/manusia bebas/. Dapat diartikan bahwa kemerdekaan adalah sebuah kebebasan yang
didapat dari sebuah perjuangan para pejuang hingga titik darah penghabisan. Kemudian
dilanjutkan oleh Sutardji C. Bachri pada puisi “Wahai Pemuda Mana Telurmu?”
pada bait pertama /apa gunanya bebas/, /kalau tak menetas?/. Kebebasan adalah
tujuan utama dari kemerdekaan, namun jika tidak bisa mempertahankan kebebasan
tersebut, kita masih belum bisa disebut merdeka.
Selanjutnya,
dalam puisi “Tentang Kemerdekaan”, pada baris ke-7 /kita semua adalah alat dari
arus sejarah yang besar/. Maksudnya, dalam mencapai dan mempertahankan sebuah
kemerdekaan, yang berperan di dalamnya adalah semua orang, baik orang tua,
muda, laki-laki, perempuan, maupun generasi yang akan datang. Generasi yang
akan datang tersebut kemudian diperjelas Sutardji C. Bachri pada bait ke-2,
/wahai pemuda/ /mana telurmu?/, yaitu pemuda yang harusnya ‘bertelur’ atau
memberikan kontribusi positif pada negaranya agar kemerdekaan masih bisa
disebut kemerdekaan bagi semua bangsa Indonesia.
Pada puisi
“Wahai Pemuda Mana Telurmu?” sebenarnya Sutardji C. Bachri memiliki harapan
tentang ‘telur’ yang ia bahas dalam puisinya. Harapan itu adalah agar terlahir
kembalinya sosok seperti ‘telur emas’ dulu, yaitu seperti yang diungkapkan oleh
Soe Hok Gie, sosok yang yang mewarisi semangat perjuangan, pantang putus asa,
dan keberanian untuk membuat Indonesia sekarang benar-benar merdeka. Harapan
Sutardji C. Bachri ini terlihat pada bait berikut: /menetaslah/ /seperti dulu/
/para pemuda / /bertelur emas/.
Jadi,
dapat ditarik kesimpulan kedua puisi ini memiliki gagasan yang sama yaitu
tentang hakikat sebenarnya kemerdekaan dan cara bagaimana mempertahankan kemerdekaan
agar Indonesia tetap dipandang di mata dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar