Pada
Suatu Hari Nanti
Karya:
Sapardi Djoko Damono
Pada
suatu hari nanti
Jasadku
tak akan ada lagi
Tapi
dalam bait-bait sajak ini
Kau
takkan kurelakan sendiri
Pada
suatu hari nanti
Suaraku
tak terdengar lagi
Tapi
di antara larik-larik sajak ini
Kau
akan tetap kusiasati
Pada
suatu hari nanti
Impianku
pun tak dikenal lagi
Namun
disela-sela huruf sajak ini
Kau
takkan letih-letihnya kucari
(1991)
Hujan
Bulan Juni, merupakan salah satu kumpulan puisi
dari penyair terkenal Sapardi Djoko Damono, yang isinya semua karya yang telah
dibuat Sapardi Djoko Damono selama 30 tahun, antara tahun 1964 sampai dengan
tahun 1994. Di antara puisi-puisi yang terkenal dalam Hujan Bulan Juni yaitu, Pada Suatu Hari Nanti, Lanskap, Kita
Saksikan, Dalam Diriku, dan banyak lagi.
Sapardi Djoko Damono banyak mendapakan
pujian karena kesederhanaannya dalam menggunakan kata-kata di dalam puisi-puisinya,
namun mampu memberikan imajinasi luas dan bercita rasa tinggi. Seperti dalam cuplikan
puisi di bawah ini.
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana:
dengan kata yang tak mampu diucapkan
dengan kata yang tak mampu diucapkan
kayu kepada api yang
menjadikannya abu
(Aku Ingin, bait ke-I)
Sapardi Djoko Damono hanya menggunakan
analogi sederhana seperti “kayu yang akan menjadi abu bila terbakar api” namun
bermakna tinggi yaitu sebuah cinta yang tulus dan rela diperlakukan apa saja
walau harus membuatnya sakit.
Kesederhanaan sajaknya masih belum
sebatas kata-kata, kesederhanaannya juga terdapat pada beberapa bait yang dituliskan secara
gamblang hingga orang awam pun bisa mengerti. Seperti pada sebait puisi di
bawah ini.
Aku mencintaimu, itu
sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.
(Dalam Doaku, bait ke-6)
(Dalam Doaku, bait ke-6)
Sangat sederhana, tapi siapa yang bisa
menolak bahwa sebait di atas merupakan bait yang begitu romantis. Seseorang
yang tak pernah lupa berdoa kepada Tuhan agar kekasih hatinya selalu berada
dalam keselamatan dan juga kebahagiaan.
Namun bandingkan dengan puisi buatan
penyair Sutardji Calzoum Bachri. Beliau memiliki ciri khas dalam membuat puisi
yaitu membebaskan kata-kata hingga tidak lagi terikat dengan makna yang
sebenarnya bahkan tidak sedikit kata-kata yang digunakan dalam puisinya tidak
dapat diterjemahkan oleh kamus manapun. Hal ini justru membuat karya-karya
sulit untuk dipahami orang awam. Misalnya seperti cuplikan puisi di bawah ini.
hei Kau dengar
manteraku
Kau dengar kucing
memanggilMu
izukalizu mapakazaba
itasatali
tutulita papaliko
arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega
zamzam lagotokoco zukuzangga
zegezegeze zukuzangga
zegezegeze zukuzangga
zegezegeze zukuzangga
zegezegeze aahh...!
nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
(Amuk, bait ke-II, baris ke 11-18)
Setiap penyair memiliki banyak sumber
inspirasi, Taufik Ismail, puisi-puisi beliau banyak terinspirasi dari keadaan
politik dan budaya bangsa pada saat karya-karyanya ditulis. Misalnya kumpulan
puisinya pada antologi puisi Malu (aku)
Menjadi Orang Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan MAJOI. Berbeda dengan Sapardi Djoko
Damono, dalam menulis puisi, beliau banyak terinspirasi dari kehidupan manusia,
seperti cinta, kematian, dan lain sebagainya.
Puisinya yang berhubngan dengan kematian
sangat terlihat pada puisi yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti, di dalamnya
penyair ingin menegaskan bahwa keabadian yang sesungguhnya tidak dihalangi oleh
kematian. Seorang sastrawan akan mengabadikan namanya dalam hasil karyanya yang
akan selalu dikenang sepanjang masa. Seperti William Shakespear, walaupun
beliau telah meninggal dunia lebih dari seabad yang lalu, namun karya beliau
seperti Romeo & Juliet masih
dikenang dan dimainkan sampai sekarang. Tidak usah jauh ke luar negeri, di
Indonesia siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar dan salah satu karyanya yang
termahsyur, Aku.
Berbicara sedikit tentang puisi
Chairil Anwar yang berjudul Aku (1943),
sebenarnya ada sedikit kemiripan dengan puisi Pada Suatu Hari Nanti ini walaupun penyajiannya berbeda, yaitu
sama-sama mengungkapkan tentang keabadian atau ambisi untuk hidup kekal. Dalam
puisi Aku hal ini tersirat pada bait
terakhir.
Aku ingin hidup seribu
tahun lagi
(Aku, Chairil Anwar)
(Aku, Chairil Anwar)
Sapardi Djoko Damono dalam puisinya Pada Suatu Hari Nanti mengungkapkan
keabadian tersebut dengan sangat sederhana mulai dari bait pertama hingga bait
ketiga tidak ada yang berubah tentang tema keabadian yang ingin ia ungkapkan
tersebut. Keabadian yang terlahir karena disetiap baris puisinya terjadi
keterikatan emosional antara penulis dan karyanya, walaupun nantinya si penulis
telah meninggal, akan tetapi emosi penulis masih terwakili dari setiap
baris-baris puisinya, sehingga seolah-olah kita masih bisa merasakan penulis
hidup dala setiap baris puisinya.
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada
lagi
Tapi dalam bait-bait
sajak ini
Kau takkan kurelakan
sendiri
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-I)
Di baris pertama, sama dengan judul
puisinya, sangat jelas bahwa penulis ingin menjelaskan sesuatu yang akan
terjadi di masa depan. Apa yang terjadi di masa depan itu dijelaskan pada baris
ke-2 “Jasadku tak akan ada lagi”. Kehidupan
penulis dikiaskan dengan kata “jasadku” dan dilanjutkan dengan keterangan “tak
akan ada lagi” yang dapat dengan jelas kita artikan sesuatu yang tak akan
kembali. Sehingga dapat ditarik kesimpulan baris ke-2 menjelaskan tentang
kematian sang penulis. Sedikit penjelasan tentang kata “jasad” tadi, “jasad”
dikiaskan dengan kehidupan yang berhubungan dengan aktifitas fisik, missal
menulis, membaca, dan lain sebagainya.
Di baris ke-3 “Tapi dalam bait-bait sajak ini” penulis ingin memberikan
pengecualian atau penentangan pada
kematiannya itu, dan memulai mengutarakan pemikirannya tentang keabadian. Dan
di baris ke-4 “Kau takkan kurelakan
sendiri” maksudnya yang tidak direlakan penulis untuk sendiri adalah kata
“jasad” tadi yang merupakan interprestasi dari kehidupan. Jadi dapat ditarik
kesimpulan, baris ke-3 dan ke-4 penulis tidak merelakan kehidupannya terhenti
hanya dikarenakan sebuah kematian (takkan kurelakan sendiri), untuk itu penulis
menyelipkan kehidupannya di dalam setiap “bait-bait sajak” yang dapat diartikan
sebuah karya sastra.
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar
lagi
Tapi di antara
larik-larik sajak ini
Kau akan tetap
kusiasati
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-II)
Selanjutnya, di bait kedua ini
penulis semakin menegaskan bahwa kehidupannya tidak akan terhenti hanya
dikarenakan kematian. Di baris pertama pada bait kedua ini masih sama dengan
bait pertama tadi yaitu “pada suatu hari
nanti” yang menyatakan sesuatu yang masih akan datang. Perbedaan mulai
terlihat di baris ke-2 sampai ke-4. Di baris kedua “suaraku tak terdengar lagi” kehidupan
yang di bait pertama dikiaskan dengan kata “jasad”, di bait kedua ini kehidupan
dikiaskan dengan kata “suara”. Kehidupan di sini lebih pada tanda kehidupan
yang berupa emosi, suara hati, dan apapun yang bersifat kebatinan. Dan
disambung dengan penjelasan “tak terdengar lagi” yang berarti suara (kehidupan)
tadi sudah tidak lagi bisa dirasakan oleh indera, yang berarti kematian.
Kemudian di baris ke-3 dan ke-4 pada
bait kedua,
tapi di antara
larik-larik sajak ini
kau akan tetap
kusiasati
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-II, baris
ke-3&4)
penulis
kembali menegaskan pengecualian atau penentangan terhadap kematian tersebut,
dengan meletakkan kehidupannya dalam setiap “larik-larik sajak” yang masih
merupakan kiasan dari sebuah karya sastra hingga semakin kuatlah pemikiran
beliau tentang pendapatnya tentang keabadian. Lalu di baris ke-4 “kau akan tetap kusiasati” maksudnya penulis
akan melakukan apapun agar kehidupannya (suara hati, emosi penulis) tetap hidup
dalam karya-karyanya hingga orang-orang yang mencintainya akan selalu merasakan
kehadiran jiwa penulis walaupun penulis kelak sudah tiada.
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak
dikenal lagi
Namun disela-sela huruf
sajak ini
Kau takkan
letih-letihnya kucari
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-III)
Baris pertama masih sama, “Pada suatu hari nanti” penegasan kembali
tentang apa yang kelak akan terjadi. Kemudian dilanjutkan pada baris ke-2 “impianku pun tak dikenal lagi” kehidupan
penulis dilambangkan dengan kata ”impian”. Maksudnya tanda kehidupan yang
ditegaskan di sini adalah yang berbentuk keinginan, hasrat, cita-cita, dan
apapun yang berhubungan dengan tujuan hidup penulis. Lalu dilanjutkan dengan
penjelasan “tak dikenal lagi”, maksudnya kehidupan (impian) penulis sudah tidak
lagi mengenal impiannya. Manusia tanpa sebuah mimpi sama saja dengan mati,
begitulah penulis mengiaskan kematian di bait ketiga ini.
Di baris ke-3 dan ke-4,
Namun disela-sela huruf
sajak ini
Kau takkan
letih-letihnya kucari
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-III,
baris ke-3&4)
Penulis
semakin menegaskan pandangannya terhadap keabadian para penyair. Walaupun
impiannya (kehidupan) tadi sudah tidak dikenal, namun penulis tetap mencarinya
dan berusaha agar kehidupannnya kekal di dalam “sela-sela huruf sajak” yang
merupakan kiasan dari karya-karyanya.
Selain pandangannya terhadap
“keabadian” tadi, jika kita lihat baris ke-3 dari setiap bait puisi Pada Suatu Hari Nanti secara tersirat
penulis menunjukkan usaha yang pantang menyerah dalam melakukan sesuatu.
tapi dalam bait-bait
sajak ini (bait ke-I, baris ke-3)
tapi di antara
larik-larik sajak ini (bait ke-II, baris ke-3)
namun disela-sela huruf
sajak ini (bait ke-III, baris ke-3)
Mulai dari bait, dalam sebuah puisi
cakupannya lumayan luas, saat penulis mengibaratkan “meletakkan” kehidupannya
dalam sebuah bait hal ini mungkin tidak terlalu sulit. Kemudian di bait kedua
digunakan kata larik, cakupannya mulai dipersempit, namun penulis tetap
berusaha “meletakkan” kehidupannya dalam larik tersebut, dan tersirat hal ini
lebih sulit dilakukan daripada yang di bait pertama, seperti penjelas pada
baris berikutnya, “kau akan tetap
kusiasati”. Dan terakhir, semangat pantang putus asanya penulis agar tetap
abadi sangat terlihat ketika penulis “meletakkan” kehidupannya di sela-sela
huruf, yang mengibaratkan sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan karena
dalam puisi, sela-sela huruf ruang
lingkupnya sangat kecil.
Jadi pada akhirnya dapat kita ketahui bahwa
keabadian itu nyata, walaupun ada kematian, keabadian dapat kita buat melalui
karya-karya indah, atau kebaikan-kebaikan yang selalu dapat dikenang oleh
orang-orang setelah kita. Selain itu jika kita mengaji puisi ini dari sudut
pandang sebuah cinta, penulis juga meletakkan sebuah pesan kesetiaan dalam
cinta yaitu “orang-orang yang mencintai kita akan selalu ada dan membuat kita
abadi di setiap hati orang yang mencintai kita walaupun kita sudah meninggal
dunia”.
Namun untuk mendapatkan keabadian
tersebut, Sapardi Djoko Damono tidak lupa berpesan bahwa keabadian hanya didapatkan
dengan perjuangan dan sikap pantang menyerah. Karena tidak ada yang instan di
dunia ini untuk membuat nama kita selalu dikenang sepanjang masa dan abadi.
wow.... sangat kritis :)
BalasHapushehe,, mkasih ra.. :)
Hapuspertamax gan... lanjut analisis cerpen ya gan. ane tunggu.
BalasHapuscukup satu saja,, kpan2 lagi..
Hapus