Kamis, 02 Mei 2013

Analisis Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" karya Sapardi Djoko Damono


Pada Suatu Hari Nanti
Karya: Sapardi Djoko Damono
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun disela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari

(1991)


Hujan Bulan Juni, merupakan salah satu kumpulan puisi dari penyair terkenal Sapardi Djoko Damono, yang isinya semua karya yang telah dibuat Sapardi Djoko Damono selama 30 tahun, antara tahun 1964 sampai dengan tahun 1994. Di antara puisi-puisi yang terkenal dalam Hujan Bulan Juni  yaitu, Pada Suatu Hari Nanti, Lanskap, Kita Saksikan, Dalam Diriku, dan banyak lagi.

Sapardi Djoko Damono banyak mendapakan pujian karena kesederhanaannya dalam menggunakan kata-kata di dalam puisi-puisinya, namun mampu memberikan imajinasi luas dan bercita rasa tinggi. Seperti dalam cuplikan puisi di bawah ini.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak mampu diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
(Aku Ingin, bait ke-I)

Sapardi Djoko Damono hanya menggunakan analogi sederhana seperti “kayu yang akan menjadi abu bila terbakar api” namun bermakna tinggi yaitu sebuah cinta yang tulus dan rela diperlakukan apa saja walau harus membuatnya sakit.

            Kesederhanaan sajaknya masih belum sebatas kata-kata, kesederhanaannya juga terdapat  pada beberapa bait yang dituliskan secara gamblang hingga orang awam pun bisa mengerti. Seperti pada sebait puisi di bawah ini.

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.
(Dalam Doaku, bait ke-6)

Sangat sederhana, tapi siapa yang bisa menolak bahwa sebait di atas merupakan bait yang begitu romantis. Seseorang yang tak pernah lupa berdoa kepada Tuhan agar kekasih hatinya selalu berada dalam keselamatan dan juga kebahagiaan.

Namun bandingkan dengan puisi buatan penyair Sutardji Calzoum Bachri. Beliau memiliki ciri khas dalam membuat puisi yaitu membebaskan kata-kata hingga tidak lagi terikat dengan makna yang sebenarnya bahkan tidak sedikit kata-kata yang digunakan dalam puisinya tidak dapat diterjemahkan oleh kamus manapun. Hal ini justru membuat karya-karya sulit untuk dipahami orang awam. Misalnya seperti cuplikan puisi di bawah ini.

hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu mapakazaba itasatali
tutulita papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze aahh...!
nama kalian bebas carilah tuhan semaumu
(Amuk, bait ke-II, baris ke 11-18)

            Setiap penyair memiliki banyak sumber inspirasi, Taufik Ismail, puisi-puisi beliau banyak terinspirasi dari keadaan politik dan budaya bangsa pada saat karya-karyanya ditulis. Misalnya kumpulan puisinya pada antologi puisi Malu (aku) Menjadi Orang Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan MAJOI. Berbeda dengan Sapardi Djoko Damono, dalam menulis puisi, beliau banyak terinspirasi dari kehidupan manusia, seperti cinta, kematian, dan lain sebagainya.

            Puisinya yang berhubngan dengan kematian sangat terlihat pada puisi yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti, di dalamnya penyair ingin menegaskan bahwa keabadian yang sesungguhnya tidak dihalangi oleh kematian. Seorang sastrawan akan mengabadikan namanya dalam hasil karyanya yang akan selalu dikenang sepanjang masa. Seperti William Shakespear, walaupun beliau telah meninggal dunia lebih dari seabad yang lalu, namun karya beliau seperti Romeo & Juliet masih dikenang dan dimainkan sampai sekarang. Tidak usah jauh ke luar negeri, di Indonesia siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar dan salah satu karyanya yang termahsyur, Aku.

            Berbicara sedikit tentang puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku (1943), sebenarnya ada sedikit kemiripan dengan puisi Pada Suatu Hari Nanti ini walaupun penyajiannya berbeda, yaitu sama-sama mengungkapkan tentang keabadian atau ambisi untuk hidup kekal. Dalam puisi Aku hal ini tersirat pada bait terakhir.

Aku ingin hidup seribu tahun lagi
(Aku, Chairil Anwar)

            Sapardi Djoko Damono dalam puisinya Pada Suatu Hari Nanti mengungkapkan keabadian tersebut dengan sangat sederhana mulai dari bait pertama hingga bait ketiga tidak ada yang berubah tentang tema keabadian yang ingin ia ungkapkan tersebut. Keabadian yang terlahir karena disetiap baris puisinya terjadi keterikatan emosional antara penulis dan karyanya, walaupun nantinya si penulis telah meninggal, akan tetapi emosi penulis masih terwakili dari setiap baris-baris puisinya, sehingga seolah-olah kita masih bisa merasakan penulis hidup dala setiap baris puisinya.

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-I)

Di baris pertama, sama dengan judul puisinya, sangat jelas bahwa penulis ingin menjelaskan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Apa yang terjadi di masa depan itu dijelaskan pada baris ke-2 “Jasadku tak akan ada lagi”. Kehidupan penulis dikiaskan dengan kata “jasadku” dan dilanjutkan dengan keterangan “tak akan ada lagi” yang dapat dengan jelas kita artikan sesuatu yang tak akan kembali. Sehingga dapat ditarik kesimpulan baris ke-2 menjelaskan tentang kematian sang penulis. Sedikit penjelasan tentang kata “jasad” tadi, “jasad” dikiaskan dengan kehidupan yang berhubungan dengan aktifitas fisik, missal menulis, membaca, dan lain sebagainya.

Di baris ke-3 “Tapi dalam bait-bait sajak ini” penulis ingin memberikan pengecualian  atau penentangan pada kematiannya itu, dan memulai mengutarakan pemikirannya tentang keabadian. Dan di baris ke-4 “Kau takkan kurelakan sendiri” maksudnya yang tidak direlakan penulis untuk sendiri adalah kata “jasad” tadi yang merupakan interprestasi dari kehidupan. Jadi dapat ditarik kesimpulan, baris ke-3 dan ke-4 penulis tidak merelakan kehidupannya terhenti hanya dikarenakan sebuah kematian (takkan kurelakan sendiri), untuk itu penulis menyelipkan kehidupannya di dalam setiap “bait-bait sajak” yang dapat diartikan sebuah karya sastra.

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-II)

            Selanjutnya, di bait kedua ini penulis semakin menegaskan bahwa kehidupannya tidak akan terhenti hanya dikarenakan kematian. Di baris pertama pada bait kedua ini masih sama dengan bait pertama tadi yaitu “pada suatu hari nanti” yang menyatakan sesuatu yang masih akan datang. Perbedaan mulai terlihat di baris ke-2 sampai ke-4. Di baris kedua “suaraku tak terdengar lagi” kehidupan yang di bait pertama dikiaskan dengan kata “jasad”, di bait kedua ini kehidupan dikiaskan dengan kata “suara”. Kehidupan di sini lebih pada tanda kehidupan yang berupa emosi, suara hati, dan apapun yang bersifat kebatinan. Dan disambung dengan penjelasan “tak terdengar lagi” yang berarti suara (kehidupan) tadi sudah tidak lagi bisa dirasakan oleh indera, yang berarti kematian.

            Kemudian di baris ke-3 dan ke-4 pada bait kedua,
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-II, baris ke-3&4)
penulis kembali menegaskan pengecualian atau penentangan terhadap kematian tersebut, dengan meletakkan kehidupannya dalam setiap “larik-larik sajak” yang masih merupakan kiasan dari sebuah karya sastra hingga semakin kuatlah pemikiran beliau tentang pendapatnya tentang keabadian. Lalu di baris ke-4 “kau akan tetap kusiasati” maksudnya penulis akan melakukan apapun agar kehidupannya (suara hati, emosi penulis) tetap hidup dalam karya-karyanya hingga orang-orang yang mencintainya akan selalu merasakan kehadiran jiwa penulis walaupun penulis kelak sudah tiada.

Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun disela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-III)

            Baris pertama masih sama, “Pada suatu hari nanti” penegasan kembali tentang apa yang kelak akan terjadi. Kemudian dilanjutkan pada baris ke-2 “impianku pun tak dikenal lagi” kehidupan penulis dilambangkan dengan kata ”impian”. Maksudnya tanda kehidupan yang ditegaskan di sini adalah yang berbentuk keinginan, hasrat, cita-cita, dan apapun yang berhubungan dengan tujuan hidup penulis. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan “tak dikenal lagi”, maksudnya kehidupan (impian) penulis sudah tidak lagi mengenal impiannya. Manusia tanpa sebuah mimpi sama saja dengan mati, begitulah penulis mengiaskan kematian di bait ketiga ini.

            Di baris ke-3 dan ke-4,
Namun disela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari
(Pada Suatu Hari Nanti, bait ke-III, baris ke-3&4)
Penulis semakin menegaskan pandangannya terhadap keabadian para penyair. Walaupun impiannya (kehidupan) tadi sudah tidak dikenal, namun penulis tetap mencarinya dan berusaha agar kehidupannnya kekal di dalam “sela-sela huruf sajak” yang merupakan kiasan dari karya-karyanya.

            Selain pandangannya terhadap “keabadian” tadi, jika kita lihat baris ke-3 dari setiap bait puisi Pada Suatu Hari Nanti secara tersirat penulis menunjukkan usaha yang pantang menyerah dalam melakukan sesuatu.

tapi dalam bait-bait sajak ini (bait ke-I, baris ke-3)
tapi di antara larik-larik sajak ini (bait ke-II, baris ke-3)
namun disela-sela huruf sajak ini (bait ke-III, baris ke-3)

            Mulai dari bait, dalam sebuah puisi cakupannya lumayan luas, saat penulis mengibaratkan “meletakkan” kehidupannya dalam sebuah bait hal ini mungkin tidak terlalu sulit. Kemudian di bait kedua digunakan kata larik, cakupannya mulai dipersempit, namun penulis tetap berusaha “meletakkan” kehidupannya dalam larik tersebut, dan tersirat hal ini lebih sulit dilakukan daripada yang di bait pertama, seperti penjelas pada baris berikutnya, “kau akan tetap kusiasati”. Dan terakhir, semangat pantang putus asanya penulis agar tetap abadi sangat terlihat ketika penulis “meletakkan” kehidupannya di sela-sela huruf, yang mengibaratkan sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan karena dalam puisi, sela-sela huruf  ruang lingkupnya sangat kecil.

             Jadi pada akhirnya dapat kita ketahui bahwa keabadian itu nyata, walaupun ada kematian, keabadian dapat kita buat melalui karya-karya indah, atau kebaikan-kebaikan yang selalu dapat dikenang oleh orang-orang setelah kita. Selain itu jika kita mengaji puisi ini dari sudut pandang sebuah cinta, penulis juga meletakkan sebuah pesan kesetiaan dalam cinta yaitu “orang-orang yang mencintai kita akan selalu ada dan membuat kita abadi di setiap hati orang yang mencintai kita walaupun kita sudah meninggal dunia”.

            Namun untuk mendapatkan keabadian tersebut, Sapardi Djoko Damono tidak lupa berpesan bahwa keabadian hanya didapatkan dengan perjuangan dan sikap pantang menyerah. Karena tidak ada yang instan di dunia ini untuk membuat nama kita selalu dikenang sepanjang masa dan abadi.

4 komentar: