Selasa, 26 Juni 2012

Perjalanan di Bawah Langit Kahayan (Narasi)


Hanya cerita tak sempurna untuk tugas mata kuliah menulis
Pagi itu mentari tidak menampakkan sinarnya dengan sempurna, hanya samar terlihat. Angin yang berhembus pun dingin menusuk tulang. Ku awali perjalanan hari itu dengan melihat langit di depan rumahku. Kalau begini terus, pikirku hujan tak mungkin di tolak lagi.
Sebelum berangkat aku agak sedikit bingung harus memakai apa, sepatu ataukah sandal. Ya benar, hal tersebut memang tidak terlalu penting. Aku pun berangkat menggunakan sepatu, dengan celana panjang jeans, ditambah baju angkatan 2011 yang aku beli. Baju itu sebenarnya dipakai untuk PKL ke Jakarta-Bandung kemarin, berhubung aku tidak mengikutinya, dan daripada sia-sia ku beli, lebih baik aku pakai saja untuk mengikuti Kegiatan Susur Sungai itu, “ini kan juga PKL”, pikirku dalam hati.
Cuaca sepertinya memang tidak bisa diajak berteman pagi itu, hanya beberapa langkah aku beranjak dari pintu rumah, titik-titik hujan pun mulai jatuh dan mulai menyanyikan irama khas yang biasa ku dengar ketika air hujan jatuh menghantam atap seng di rumahku. Sambil membayangkan apa yang akan terjadi nanti di kegiatan Susur Sungai, aku menunggu rintik hujan agak reda di muara pintu rumah sambil ditemani senandung “Romanza” yang aku mainkan sendiri menggunakan gitar yang sudah tiga tahun kumiliki.
Aku lihat jam dinding di rumahku, jarum panjang sudah berjalan hampir lima belas derajat lingkaran dari saat kulihat pertama kali, itu berarti sudah hampir seperempat jam aku menunggu di situ. Hujan pun sedikit demi sedikit mulai mereda. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung beranjak dari tempatku, meletakkan gitar usangku, dan mulai melangkahkan kaki. Tapi, tak pernah aku lupa untuk pamit dengan Ibuku, orang yang sering menasihatiku, walau sebentar, bagiku itu sangat berarti.
Tidak seperti biasa caraku menuju kampus yang menggunakan sepeda, waktu itu aku menggunakan sarana transportasi umum, yang biasa aku bilang taksi. Padahal yang aku naiki itu bukanlah taksi, melainkan angkutan kota, atau biasa disingkat dengan sebutan “angkot”. Teman-temanku juga sering meledekku tentang kesalahan penyebutan itu, tapi karena sudah terbiasa, hal itu aku anggap wajar saja. “wih, udah banyak duit nih Gema, berangkat sekolah aja pake taksi”, ledek temanku, saat ku kenang kembali masa SMA ku dulu. Ya aku sadar, ceritaku agak melenceng dari tema Kegiatan Susur Sungai, maaf aku hanya sekedar mengenang masa lalu.
Oke, kembali ke tema. Angin dingin berhembus deras, dan semakin membuatku merasa dingin. Untuk mendapatkan sebuah angkot, aku harus berjalan sekitar 500 meter dari rumahku, itu dikarenakan rute perjalanan angkot tidak ada yang langsung menuju ke rumahku, dan aku harus menunggunya di jalan Karet, sebuah jalan yang selalu dilalui angkot yang akan menuju ke pasar.
Tak berapa lama aku menunggu, dari sebelah kananku terlihat sebuah mobil berwarna oranye, ciri khas dari angkot di Kota Palangka Raya. Saat mobil itu mulai mendekat ku lambaikanlah tanganku untuk memanggilnya. Namun, tidak sesuai dengan pikiranku, sang sopir di dalam mobil itu pun juga melambaikan tangan mengisyaratkan dia tidak menerima penumpang waktu itu, dan semakin jelas saat kulihat pintu untuk keluar masuk penumpang di mobil itu tertutup rapat. Tak ada pilihan lain selain aku harus menunggu lagi.
Di pinggir jalan tempat ku menunggu, aku sesekali meneguk air liur sendiri, karena tepat di sebelah kanan ku berdiri, ada pedagang  kaki lima yang membuat roti secara langsung di gerobaknya dan dijualnya saat roti itu benar-benar baru matang. Bisa dibayangkan sendiri betapa enaknya memakan sebuah roti yang baru saja matang. Orang-orang pun banyak berkerumun di tempat ia berjualan, yang sedikit membuatku terdesak menjauhi kerumunan itu. Aku berpikir “seenak apa roti ini sehingga banyak orang yang rela mengantre untuk mendapatkannya, padahal cuaca waktu itu sedang mendung, tak takutkah mereka bila nanti kehujanan?”. Tak pentinglah ku bahas masalah itu, yang jelas nanti pasti akan ku beli, namun sekarang bukanlah waktu yang tepat.
Sudah beberapa kali aku melihat langit mendung, dan berdoa agar tidak turun hujan. Jika seandainya hujan, itu bisa jadi malapetaka bagiku, karena tak mungkin ada satu angkot pun yang akan beroperasi. Ku rogoh sakuku untuk mengambil ponsel untuk melihat sudah berapa lama aku berdiri di sini. Belum sempat ku melihat jam di ponselku, suara klakson dari sebuah angkot mengagetkanku. Inilah kelebihan dari angkot di Kota Palangka Raya, ia akan menghampiri kita walaupun kita tidak melambaikan tangan untuk memanggilnya, entahlah jika di kota lain.
Langsung saja aku menghampiri angkot tersebut di seberang jalan, karena ia datang dari arah sebelah kiri jalan. “kemana?”, ucap sopir angkot tersebut. “Langsung ke Flamboyan bisa?”, ucapku. Aku berpikir, kalau saja bisa langsung menuju tempat kegiatan, pasti akan mempersingkat waktu. Sebelum jam sembilan pagi seluruh angkot tidak memiliki rute tetap, jadi bisa saja langsung mengantarkan ke tempat tujuan tanpa harus mengganti ke angkot selanjutnya yang memiliki rute sesuai dengan tujuan kita. “Kada bisa ding ai, aku handak ke pasar”. Ucapnya, dengan menggunakan bahasa Banjar. Dan apa boleh buat, aku pun harus ke pasar terlebih dahulu sebelum ke tempat kegiatan.
Di dalam angkot angin semakin deras saja bertiup, dingin pun sudah tidak tertahankan lagi merasuk menusuk ke dalam tulang, telapak tangan pun beberapa kali kugenggam dan sedikit meniupnya agar terasa lebih hangat. Baju angkatan yang sebelumnya ku gulung agar terlihat seperti baju berlengan pendek, kini ku lepas lipatannya hingga menjadi lengan panjang. Sebenarnya keadaan dingin seperti ini tidaklah mengganggu andaikan saja tadi aku ingat untuk membawa jaket.
Apa yang kuharapkan agar tidak turun hujan rupanya tidak begitu berhasil. Terlihat titik-titik air kecil menubruk dengan cepat di kaca depan mobil angkot. Walaupun sepertinya hanya gerimis, tapi ini sedikit mengganggu, karena aku nanti harus kembali menunggu angkot di pasar untuk meneruskan perjalanan. Apa lagi yang bisa kulakukan selain berdoa, agar gerimis ini berhenti, dan aku yakin tidak hanya aku yang berdoa agar gerimis ini berhenti, orang-orang yang sedang berkerumun dan mengantre untuk membeli roti di tempat ku berdiri menantikan angkot tadi, pasti juga melakukan hal yang sama.
Tak ada hal yang begitu menarik di dalam angkot tersebut, yang ada hanya aku yang kedinginan menggigil, mungkin karena tubuhku yang kurus, dan tidak memiliki banyak daging untuk menahan suhu udara yang dingin. Ya, aku bukanlah seorang yang menerti banyak tentang biologi, jadi terserah aku saja mengambil kesimpulan penyebab mengapa aku begitu kedinginan bahkan sampai menggigil seperti ini.
Mungkin hanya sekitar lima belas menit aku berada di angkot. Angkot yang membawaku telah sampai di tempat tujuan, yaitu pasar besar di Kota Palangka Raya, aku pun turun tepat di dekat simpangan yang di dalamnya terdapat Sandung Ngabe Sukah di jalan Dr. Murdjani itu. Tak lupa sebelumnya aku membayar jasa angkot tersebut, sebesar Rp 3.000,00. Jika aku tak membayarnya, tak perlu kuceritakan apa yang akan terjadi.
Saat aku keluar dari angkot itu, keadaan cuaca masih saja gerimis. Tapi syukurnya, tepat di belakang angkot pertamaku, langsung ada sebuah angkot yang sopirnya menanyakan “lurus?”. Tanpa ku menjawabnya aku langsung saja memasuki angkot tersebut. Bagi orang yang kurang begitu paham dalam menaiki angkot di Kota Palangka Raya mugkin tidak mengerti arti kata “lurus” tersebut. “Lurus” adalah sebutan untuk jalur ke arah jalan Tjilik Riwut, karena jalur tersebut melewati daerah Flamboyan tempat dilaksanakannya kegiatan Susur Sungai itu, maka aku pun menaikinya.
Waktu itu masih pukul setengah tujuh pagi, tak heran di angkot tersebut penuh sesak dengan para pelajar SMP dan SMA, aku pun terpaksa duduk di muara pintu penumpang. Karena aku duduk di muara pintu, tetesan-tetesan kecil air dari awan kelabu tak lagi terelakkan membasahi celana dan sepatuku. Walaupun begitu aku tak pernah mempedulikannya, bagiku ini belumlah sampai pada perjalan sebenarnya, Perjalanan di Bawah Langit Kahayan. Bahkan kapal susur sungainya pun belum aku lihat secara nyata. Sebelumnya, aku hanya pernah melihatnya di koran dan televisi.
Di dalam perjalanan menuju tempat kegiatan Susur Sungai, aku kembali teringat kenangan waktuku di SMA, karena jalur angkot yang kunaiki melewati SMA 2 Palangka Raya, tempat ku bersekolah dahulu, tempat di mana aku dan teman-temanku bingung menentukan jurusan yang akan diambil kelak di Perguruan Tinggi. Dan maaf, cerita ini kembali melenceng dari tema.
Hanya sebentar, tak begitu lama. Aku menghentikan angkot tepat di lampu merah dekat kantor PU. Karena hanya dari tempat itu, jarak yang paling dekat dengan lokasi kegitan, Tugu Peletakkan Batu Pertama. Setelah aku membayar jasa angkot, ditemani rintik hujan yang mulai deras, aku pun berjalan dengan sesekali berlari-lari kecil menuju lokasi, sekitar 50 meter dari tempatku berhenti. Sedikit kecewa, karena di sana hanya ada seorang saja, bahkan aku tak tahu apakah ia adalah mahasiswa PBSI, dan aku yang sudah berusaha keras hingga sampai ke situ merasa apa yang kulakukan semua tadi hanya sia-sia. “Tak apalah, ini demi kesuksesanku di PBSI” ucap hatiku, sambil menenangkan hati.
Apa? Apa yang akan kulakukan sekarang? Yang ada aku bingung sendiri, bahkan aku hampir saja menghubungi temanku, Norhidayah, ketua kami, untuk menanyakan apakah benar di sini tempat kegiatan susur sungai? Saat itu aku hanya berpedoman pada waktu yang diberikan dua hari yang lalu melalui sebuah pesan singkat di ponsel. Di dalamnya tertulis kegiatan akan dilaksanakan pada pukul 06.30 WIB. Dan apa yang terjadi sekarang, aku datang sudah lewat dari pukul setengah tujuh pagi, namun seperti yang ku katakan tadi, hanya ada seorang.
Sebelum niatku untuk menghubungi temanku tadi terlaksana, aku dikejutkan dengan sebuah panggilan dari seorang perempuan yang berdiri di sisi sebelah kanan belakang tugu itu. “Norhidayah mana?”, ucapnya. Dan aku bilang saja “belum datang dia”, memang hanya itu yang bisa ku jawab. Siapakah perempuan itu? Yang jelas dia dari kelas B angkatan 2011, dan bodohnya aku, aku tidak tahu namanya, aku hanya mengenal wajahnya saja, itu pun saat aku mulai mendekat dengan dia.
Seketika saja keraguanku tentang masalah tempat kegiatan susur sungai buyar, cukup dengan melihat orang yang aku kenal juga sebagai mahasiswa PBSI, itu sangat membuktikan bahwa di tempat itu memang benar akan dilaksanakan kegiatan Susur Sungai.
Belum, cerita ini masih belum sampai pada intinya. Aku masih akan menceritakan apa yang terjadi sebelum kakiku ini menginjak papan dari kapal Susur Sungai itu. Oke, setelah aku yakin bahwa inilah tempatnya, aku langsung saja turun ke bawah. Menuruni tangga yang curam hingga akhirnya aku berada di tepi dermaga. Oh iya, jalan menuju ke dermaga itu tepat berada di belakang Tugu Peletakkan Batu Pertama.
Lagi, saat aku pertama melihat kapal itu secara nyata, aku sedikit kecewa. Tapi hanya sadikit, masalahnya hanya kapal tersebut sudah tak seindah saat aku melihatnya di koran atau televisi beberapa tahun yang lalu. Mungkin ini dikarenakan oleh kurangnya perawatan. Siapa yang harus disalahkan? Masalah itu tak akan ku bahas pada cerita ini.
Dingin, apalagi di situ angin terasa semakin kencang saja, semakin menusuklah suhu rendah itu. Aku lihat ke bawah, arus sungai kahayan terlihat deras, “pasti di daerah lain telah terjadi hujan lebat” pikirku. Dan ku harap hujan lebat tak mengguyur Kota Palangka Raya. Jika hujan, perjalanan ini pasti akan sangat tak berkesan. Jujur, aku mengikuti kegiatan ini lebih dari sekedar memenuhi tugas, tapi aku juga ingin mendapatkan kepuasan dan kesan yang indah dari perjalanan ini. Maklum saja, aku baru pertama kali megikuti kegiatan ini.
Kulihat ke atas, memandang langit, tetap tak berubah, tetap saja tak terlihat mentari pagi itu, gumpalan awan yang ada malah semakin menjadi-jadi. Waktu yang semakin berlalu sia-sia menambah kesuraman di pagi itu. Mengapa aku katakan sia-sia? Sia-sia di sini bukan berarti aku mengikukuti kegiatan yang sia-sia, kegiatan ini sangatlah bermanfaat dan menarik, tapi sia-sia maksudku itu adalah waktu yang mengaret dengan indahnya.
Sedikit bercerita tentang apa yang aku bayangkan tadi saat aku menunggu rintik hujan sambil memainkan gitar di rumah tadi. Yang aku bayangkan adalah seperti ini, aku sampai tanpa kebasahan sedikitpun, saat ku tengadahkan kepalaku ke atas, langit sudah mulai cerah, saat ku melihat lokasi kegiatan dari jauh sudah banyak teman-teman yang menunggu, dan tak berapa lama kemudian kapal pun berangkat sesuai dengan perkiraanku yaitu 30 menit setelah jam setengah tujuh pagi. Tapi itu semua hanya khayalan semata, dan tak mungkin khayalan akan selalu menjadi nyata.
Ku coba melihat jam, ternyata sudah satu jam berlalu sejak aku tiba di lokasi tempat kegiatan ini. Mahasiswa angkatan 2010 pun sudah mulai berdatangan, namun rasanya waktu itu dosen-dosen masih belum datang. Ya tetap saja aku harus menunggu, sambil menatap indahnya busur oranye yang menopang beratnya jembatan kahayan dengan kawat-kawat bajanya. Sangat menawan melihatnya dari bawah sini.
Sambil menghabiskan waktu yang benar-benar mengaret ini. Aku pun berbincang-bincang sebentar dengan kakak tingkat. Yang diperbincangkan tidak jauh dari hal kepanitiaan keakraban dan penyuluhan, maklum angkatan 2010 adalah mantan panitia keakraban dan penyuluhan untuk kami, angkatan 2011. Banyak hal yang belum ku ketahui akhirnya terkuak melalui perbincangan itu, dan seperti biasa aku tidak akan menceritakannya pada ceritaku ini. Ini kan cerita tentang Susur Sungai, bukan cerita tentang masalah kepanitiaan.
Setelah puas berbincang, aku pun berjalan-jalan sebentar melihat-lihat keadaan sekitar dermaga, sesekali aku turun lebih ke bawah lagi, untuk melihat lebih jelas kapal yang akan kunaiki nanti itu. Tak berapa lama aku berjalan, lokasi pun sudah mulai terlihat ramai, beberapa dosen juga sudah mulai berdatangan, tapi perhatianku tidak tertuju pada semua itu. Makanan untuk nanti makan siang, itu yang menarik perhatianku, ada ayam goreng, mie, dan ada wadah tertutup di antaranya, entahlah apa isinya. Melihat semua itu membuat aku menjadi lapar, padahal aku sudah sarapan pagi tadi.
Di jalan menuju ke bawah, ke tepi dermaga, ada beberapa saung di pinggirnya. Aku pun yang tadinya berada di bawah, naik kembali ke atas, namun tidak sampai keluar ke tugu di depan, masih di sekitar situ, dan aku melihat beberapa temanku duduk di salah satu saung, langsung saja aku menghampiri mereka dengan tujuan yang tidak lain untuk menghabiskan waktu.
Sebenarnya, semakin lama aku menceritakan cerita narasi ini, semakin membosankan saja yang aku rasa. Bagaimana tidak? Dari tadi ceritaku masih berputar-putar pada saat aku bahkan belum menyentuh kapal Susur Sungai yang akan aku naiki, padahal inti cerita ini hanyalah menceritakan apa saja yang menarik dari kegiatan Susur Sungai. Ya, harap maklum saja, aku bukanlah seorang penulis yang pandai, aku hanya bercerita apa adanya, dengan cara mengonversikan ingatan yang terbatas ini ke dalam bentuk tulisan.
Kembali lagi pada cerita. Ibu Cues, dosen mata kuliah Fonologi di kelas kami, terlihat asik berbincang dengan mahasiswa di sebelah saung kami. Aku, Lungan, dan Sugito, juga asik berbincang dengan arah pembicaraan yang ke sana ke mari, sampai-sampai rumah kayu yang berada di bawah, di belakang tempatku duduk, tidak luput dari perbincangan.
Tak lama kakak tingkat yang selaku ketua dari kegiatan acara Susur Sungai datang. Sedikit memberi secercah harapan yang mulai pudar dimakan karetnya waktu. Aku pikir, jika ketuanya sudah tiba, apa lagi yang ditunggu? Pasti sebentar lagi acaranya akan segera dimulai. Yaitu, Susur Sungai Kahayan.
Namun, selalu saja tidak sesuai harapanku. Aku yang sudah mulai bersemangat, harus menunda sebentar untuk menaiki kapal itu. Aku terlupa, dosen pembina yang mengadakan acara ini, Pak Yohanes Kalamper belumlah datang. Pikir saja, bagaimana kegiatan bisa terlaksana jika yang punya acara belum datang? Ya apa boleh buat, aku harus melakukan hal yang aku benci lagi, yaitu menunggu.
Langit akhirnya mulai menampakkan sedikit mentarinya, namun tetap, langit sepertinya tidak begitu ikhlas untuk memberikan sinar mentarinya dengan sempurna, masih saja terlihat samar, udara pun masih terasa dingin, walaupun tidak sedingin saat aku berada dalam angkot tadi.
Berbeda jauh dengan langit dan udara pagi itu, aku dan teman mahasiswa yang lain selalu ikhlas dan bersabar dalam menunggu kegiatan dimulai dengan diwarnai tawa dan canda yang hangat. “Tinggal menunggu Pak Kalamper saja, pasti acaranya akan segera dimulai” ucapku dalam hati.
Akhirnya, dosen yang ditunggu tiba juga. Dengan menggunakan tas ransel besar, dan jaket berwarna hitam beliau terlihat sangat sehat dan berjiwa muda, tidak kalah dengan teman-teman yang berada di belakangnya yang juga membawa barang-barang bawaan beliau. Aku pun sedikit mengkhayal, jika kelak nanti aku sampai pada umur seperti beliau, akankah aku akan sekuat beliau? Atau, akankah umurku sampai seperti beliau? Semua rahasia Tuhan.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB, itu sama saja seperti aku dipaksa untuk melakukan hal yang paling aku benci lebih dari dua jam. Ada sedikit penyesalan juga waktu itu, mengapa aku hadir begitu cepat, bahkan aku rela diguyur rintik hujan saat di perjalanan menuju lokasi, yang pada akhirnya aku jua harus menunggu selama ini. “Tak perlu menyesali hal yang merubahnya saja tidak akan mungkin bisa lagi, lihat saja yang ada di depan” terlintas seketika kalimat itu di pikiranku, kalimat yang sedikit bisa menenangkan hati.
           Ya, seketika saja seluruh mahasiswa bergerak menuju kapal wisata itu. Tapi sebelum itu, kami, angkatan 2011 tidak lupa untuk mendokumentasikan keadaan saat itu, foto sana, foto sini. Dan aku, aku hanya melihat saja, berhubung ponselku tidak memiliki kamera. Jadi untuk dokumentasi, kami putuskan untuk menggunakan satu ponsel saja, yaitu milik Sugito.
Terlihat banyak mahasiswa yang sedikit berdesak untuk masuk ke kapal wisata, mungkin karena ingin mendapatkan tempat yang ideal. Hanya menerka saja, mungkin angkatan 2010 nanti akan melakukan kegiatan kepemanduan wisata, seperti kami nanti saat UAS mata kuliah Retorika, yang juga dibina oleh bapak Kalamper. Dan kami, angkatan 2011 mungkin hanya bertugas sebagai penonton yang setia. Selain itu, yang lebih penting dari sebagai penonton, kami harus mampu menikmati dan menemukan kesan-kesan terindah dalam perjalanan yang hanya berlangsung selama 6 jam ini.
Akhirnya, sampai juga ceritaku ini pada saat aku mengikuti kegiatan Wisata Susur Sungai Kahayan. Setelah lama berputar-putar dalam cerita perjalanan dari rumah menuju lokasi, hingga cerita tentang waktu yang mengaret dengan begitu indah dan sempurnanya. Saatnya aku bercerita tentang Perjalanan di Bawah Langit Kahayan. Mengapa aku beri judul seperti itu? Aku tidak memungkiri, langit di pagi itu sangat mempengaruhi dalam ceritaku ini, awan kelabu, mentari samar, rintik hujan, selalu menemaniku dalam perjalanan ini. Dan Kahayan, ini karena kegiatan susur sungai ini akan menyusuri sungai Kahayan, sungai yang membelah Kota Palangka Raya, dan sungai terbesar di Kota Palangka Raya.
Saat kami akan menaiki kapal
Ku awali dari saat ku mulai menginjakkan kaki di kapal wisata susur sungai kahayan. Saat aku memasukinya kepalaku sempat terantuk karena rendahnya pintu yang digunakan untuk pewisata masuk. Di dalamnya tertata rapi kursi dan meja yang terbuat dari kayu rotan, namun pada akhirnya juga harus disingkirkan karena ruangan kapal yang tidak cukup luas untuk menampung mahasiswa jika meja dan kursi tersebut masih berada pada tempatnya. Mataku saat itu agak terpaku pada sebuah bar kecil di sudut lantai pertama kapal, di dalam bar kecil itu tersusun rapi di rak beberapa botol dengan bentuk-bentuk yang tidak lazim seperti biasa aku lihat. Aku coba memerhatikannya lebih dalam, ternyata botol-botol itu berupa minuman anggur atau biasa disebut dengan wine. Terang saja ada minuman seperti itu, kapal ini kan kapal wisata, pasti tidak sedikit turis-turis mancanegara yang mengikuti wisata susur sungai ini.
Aku saat itu memilih tempat di lantai pertama, karena aku ingin duduk di pinggir kapal, rasanya lebih indah jika kita melihat suasana di luar dan jika kita sedikit menunduk ke bawah kita akan melihat sungai kahayan yang mengalir deras. Namun, ada satu hal yang sedikit mengganggu saat aku akan duduk. Bekas dari turunnya hujan di pagi tadi masih ada, sisi kapal yang akan ku duduki basah. Terpaksa, aku harus mengambil beberapa lembar kertas untuk mengeringkannya sekaligus sebagai alas untuk aku duduk. Tak hanya aku, teman-temanku juga melakukan hal yang sama.
Sebelum mesin kapal dinyalakan, ada seseorang yang mengingatkan bahwa kami harus menjaga keseimbangan kapal, mungkin dia adalah orang yang mengelola wisata susur sungai ini. Jadi, beberapa mahasiswa yang agak berkerumun di salah satu sisi kapal diharuskan mengimbangi kapal dengan berpindah ke sisi lain kapal. Aku yang sudah terlanjur mendapatkan posisi yang ku suka, tidak beranjak dari tempatku, dan biarkan saja yang lain ke sisi sebelah untuk mengimbangi kapal.

           Gerimis ternyata mulai turun kembali dari langit, terasa jelas saat titik-titik kecil air itu menerpa wajahku. Ku lihat awan, masih saja tak beranjak mengerubungi Kota Palangka Raya. Apalagi mentari, aku saja sampai bisa menatapnya dengan mata telanjang karena redupnya sinar mentari saat itu. Angin? Tak usah ditanya lagi, masih sama seperti yang tadi, dingin.
Suara mesin kapal pun mulai berbunyi, pertanda kapal ini akan segera berangkat. Tak lama, kapal pun bergerak dari dermaga, menuju ke arah jembatan kahayan. Kepalaku agak sedikit ku keluarkan agar mataku bisa melihat lebih jelas bentuk jembatan kahayan dari bawah sini. Sungguh indah, terutama busur oranye yang seakan membelah sungai kahayan itu. Seandainya aku memiliki sebuah kamera, hal itu pastilah akan ku abadikan.
Setelah puas melihat jembatan kahayan, aku pun mulai memerhatikan apa yang akan dilakukan angkatan 2010 pada kegiatan susur sungai ini. Jujur, aku tidak tahu sama sekali tentang apa yang akan mereka kerjakan, yang terlintas dipikiranku hanyalah mereka akan memandu jalannya wisata susur sungai ini. Tapi ternyata bukan, setelah mendengarkan pengarahan dari dosen, aku akhirnya mengerti, bahwa mereka akan mengadakan penyuluhan tentang Bahasa Indonesia di sini. Peraturannya setiap kelompok akan diwakili oleh satu anggotanya untuk menyuluh, dan durasi untuk menyuluhnya maksimal 20 menit.
Ada tiga materi yang akan disuluhkan oleh perwakilan tiga kelompok. Yang aku ingat adalah tentang kesalahan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, WC sebenarnya dalam bahasa indonesia yang baik kita tidak perlu menyebutkannya dengan sebutan “we-ce”, tapi kita bisa menyebutnya dengan sebutan “kakus”, jauh lebih enak didengar. Selanjutnya, aku tidak begitu memerhatikannya, aku hanya duduk sambil sesekali melihat ke arah luar, namun masih belum ada yang menarik.
Di perjalanan ada hal yang sedikit menarik perhatianku, ada dua buah pesawat yang terparkir di tepi sungai. Ukurannya mungkin hanya separuh kapal yang kami naiki. Aku baru pertama kali melihatnya sedekat ini, biasanya aku hanya melihatnya saat pesawat itu mengudara. Ingin rasanya aku menaiki pesawat itu, tapi aku pikir pasti biaya tidak sedikit, itu pun kalau pesawat itu benar-benar untuk wisata.
           Lupakan masalah pesawat tadi. Semua perwakilan kelompok telah maju, tidak lama, mungkin kurang dari satu jam untuk menyelesaikan semuanya, dan setelah itu tak ada lagi kegiatan. Seluruh mahasiswa pun dibebaskan untuk melakukan apa saja, asalkan masih berada pada garis kewajaran, dan itu harus.
Aku lihat di salah satu sudut kapal, ada banyak buah apel, aku yakin itu adalah salah satu bahan yang nanti akan digunakan nanti untuk membuat jus bernutrisi milik pak Kalamper. Semoga saja enak, itu saja yang kupikirkan, biasanya yang namanya makanan yang sehat itu tidak enak, apalagi jus ini dicampur dengan berbagai macam bahan. Apa itu, aku juga tidak tahu.
Sudah berapa kilometer kapal ini berjalan aku juga tidak tahu, rasanya sudah lama sejak kami meninggalkan dermaga. Jus yang tadi disiapkan sepertinya juga sudah selesai dibuat. Kami pun semua dipersilakan untuk mengambil gelas di atas meja dan meminum jusnya. Aku, tanpa pikir panjang langsung saja mengambilnya, aku yang sudah sangat tergiur akan kesegarannya sejak melihat susunan gelas berisikan jus buah itu memang benar-benar tak bisa menahannya. Kebetulan aku duduk berada di dekat meja tempat jus itu tersusun.
Sambil menikmati jus yang dibagikan tadi, yang temanku bilang tidak enak ini, tapi bagiku ini rasanya enak. Aku mencoba untuk menikmati perjalanan. Melihat hutan yang rindang di seberang sana dan sesekali ada sungai-sungai kecil yang masuk menuju ke dalam hutan, entah menuju kemana sungai-sungai kecil itu. Langit pun sepertinya sudah mulai mengizinkan sinar mentari untuk menghangatkan udara di sini, walaupun tetap tidak terlihat sempurna. Suasana hangat sudah mulai akhirnya perlahan mengusir rasa dingin yang telah aku rasakan sejak tadi.
“Apa lagi ini?”, ucapku agak berbisik pada temanku. Aku mengira hanya jus tadi minuman yang dibagikan, ternyata masih ada satu lagi, yaitu minuman berwarna cokelat kekuningan serupa teh. Aku pun teringat kembali saat aku mengikuti mata kuliah Retorika di kampus, biasanya beliau membawa minuman sejenis teh ini, teh herbal namanya. Penasaran juga sebenarnya aku dengan rasa teh itu, teh kesehatan yang walaupun aku hanya meminumnya satu gelas, dan menurutku pasti tidak memiliki efek apa-apa terhadap tubuhku, tapi aku akan meminumnya.
Ku ambillah segelas teh tersebut. Ku hirup minuman itu dengan perlahan, barang kali rasanya tidak enak. Dan saat hirupan pertama, benar saja apa yang ku kira tadi, minuman ini benar-benar tidak enak. Maaf, aku pun hampir mual meminumnya, tapi aku mencoba untuk tetap memberikan ekspresi wajah yang biasa, takutnya beliau nanti tersinggung. Memang jauh sekali rasanya dengan jus yang tadi, bahkan aku mengambil satu gelas jus lagi untuk memaniskan air liurku yang pahit bekas meminum teh herbal ini.
Aku mencoba bertanya kepada Pak Kalamper tentang bahan yang ada di dalam minuman itu, “Pak, ini minuman campurannya apa?”. Lalu beliau jawab, “lidah buaya dan teh herbal”. Pantas saja rasanya tidak enak, ternyata minuman yang aku minum tadi telah bercampur dengan lidah buaya, tumbuhan yang biasanya digunakan untuk menghitamkan rambut. Hanya beberapa teguk, aku letakkan saja gelas itu di bawah.
            Sementara aku memaniskan air liurku menggunakan jus, aku tengok keadaan di luar, ku lihat awan mendung kembali menyelimuti langit. Sinar mentari malah tak terlihat sama sekali. Tapi, untungnya hujan masih belum turun, dan kuharapkan tidak akan turun. Di seberang sana aku sedikit antusias saat melihat beberapa kain kuning bergantung diikatkan pada ranting-ranting pohon, namun hanya kain kuning yang bergantungan, tanpa ada bangunan sebuah pun di situ. Aku pikir, pasti di situ salah satu tempat yang dianggap keramat oleh penduduk setempat.
            Air sungai kahayan tanpa kusadari berubah menjadi lebih gelap, hampir berwarna hitam, padahal saat pertama kali berangkat, air sungai berwarna cokelat cerah, warna khas dari lumpur tanah liat. Mungkin keadaan tanah di dasar sungai kahayan yang mempengaruhi warna air sungainya. Kesimpulan tadi hanya kemungkinan saja, karena aku tidak begitu mengerti tentang ilmu Geografi, jadi terserah aku sajalah mengambil kesimpulan seperti apa.
            Tak lama kemudian kapal menemui sebuah simpang tiga. Menariknya bukan simpang tiganya, melainkan di situ terdapat tempat keramat bekas pertapaan gubernur Kalimantan Tengah yang pertama Tjilik Riwut. Untuk menemukannya sangatlah mudah, tempat itu begitu mencolok dengan banyak gantungan kain-kain berwarna kuning yang diikatkan di ranting, dan di dalamnya terdapat sejenis bangunan kecil yang terbuat dari kayu, dan ini yang membedakan dengan tempat pertama yang juga serupa sebelumnya. Sebenarnya aku berharap kapal akan berhenti sejenak dan mendekat ke tempat itu, aku ingin melihatnya lebih jelas, namun kapal tetap berjalan walaupun kecepatannya sedikit diturunkan karena kapal akan berbelok.
            Tidak ada yang menarik setelah kapal kami melewati simpang tiga sungai tadi, sisi kiri dan kanan sungai hanyalah hutan, tak ada bangunan sedikitpun. Aku berharap ada hal-hal yang menarik lagi yang akan aku temukan, mengingat waktu perjalanan masih panjang, bahkan kapal pun belum berbalik arah untuk kembali ke dermaga.
            Bercerita tentang suasana saat itu. Tidak ada yang dapat banyak aku ceritakan, cuaca masih sama seperti yang tadi, dan sepertinya aku juga malas untuk menceritakannya. Tidak, aku tidak boleh malas, cerita ini harus jelas, walaupun dokumentasinya kurang. Aku harus menyelesaikan cerita ini.
            Suasana di dalam kapal terdengar riuh dengan tawa dan canda para mahasiswa, terlihat jelas mereka menikmati perjalanan ini. Tapi, aku tidak mengetahui apakah mereka juga mendapatkan kepuasan dalam perjalanan ini. Kepuasan hanya bisa terlihat saat seluruh kegiatan ini selesai. Dan aku, alhamdulillah bisa menikmati perjalanan hingga saat ini.
Sebenarnya, beberapa saat setelah aku meminum jus bernutrisi tadi, perutku jadi merasa tidak enak, rasanya mulas. Aku pun berjalan dari tempat aku duduk sejak kapal mulai berangkat tadi ke bar kecil di sudut kapal. Mengapa ke bar? Di bar ada toiletnya? Bukan, aku ke sana karena aku tidak mengetahui di mana letak toilet di kapal tersebut, mau tidak mau aku harus bertanya kepada salah satu anak buah kapal yang berada di sana, dia pun memberitahu bahwa toilet berada di lantai atas. Langsung saja aku ke atas, sekalian mau tahu bagaimana suasana di atas. Tapi, karena aku sudah teramat mulas, aku tidak memperhatikan lagi suasana di atas, aku langsung saja aku menuju toilet. Agak bingung, karena ada beberapa pintu di sana, di antaranya adalah kamar penumpang, jadi aku berfikir saja bahwa toilet biasanya berada di daerah paling belakang. Dan benar saja, di situ memang benar letak toilet. Setelah aku keluar dari toilet, aku menikmati sebentar suasana dan melihat pemandangan alam sekitar dari lantai atas. Tidak lama aku di sana, aku merasa agak bosan berada di lantai atas. Karena, tempatnya agak sempit dari yang di bawah. Aku pun kembali turun ke bawah dan kembali duduk di tempat semula, dipinggir kapal, dan menatap hutan rindang dan sesekali dijumpai pemukiman penduduk.
            Tahukah? sebenarnya aku agak pusing dalam menulis cerita ini, dan semoga yang membaca tidak ikut pusing. Memang sih hanya menceritakan kembali apa yang telah aku lakukan pada kegiatan susur sungai kemarin, namun jika menulis di bawah tekanan seperti ini rasa sakit kepala memang tidak bisa dihindari lagi. Tapi, apapun alasannya, aku harus menyelesaikan tulisanku ini tepat waktu dan secepatnya, karena tiga jenis karangan lainnya masih menunggu untuk dikerjakan. Maaf, aku sadar, paragraf ini sangat jauh melenceng dari tema.
            Kembali lagi ke cerita. Banyak pemukiman masyarakat yang kami lewati sejak kami mulai berangkat tadi. Rata-rata perumahan penduduk di daerah tersebut terbuat dari kayu, dan perumahan tersebut ditinggikan dari tanah agar tidak banjir saat air sungai pasang. Yang unik, ada sebuah pemukiman yang diapit oleh dua aliran sungai, jadi pemukiman tersebut seakan-akan berada di tengah sungai, layaknya sebuah pulau kecil di antara dua daratan yang besar. Kapal kami pun berbalik arah menuju sisi sungai yang berada di sebelahnya.
            Kembali aku ceritakan bagaimana keadaan cuaca pada saat itu. Pada perjalanan susur sungai ini, awan sungguh banyak yang bertumpuk di langit, tidak pernah sedikitpun cahaya mentari yang terlihat sempurna dari awal kami berangkat tadi. Gerimis-gerimis kecil sewaktu-waktu turun tanpa pernah permisi. Untungnya tidak ada hujan lebat sampai saat kapal berbelok arah tadi. Dan tetap ku harapkan tidak hujan tidak akan turun dari langit. Bila hujan, dampaknya sudah pasti seperti yang aku ceritakan di awal-awal tadi, tidak berkesan.
            Sampai di desa mana sudah aku ini? Aku juga tidak tahu, sudah banyak desa rasanya yang sudah dilalui kapal, dan aku tak tahu apa nama desa-desa yang telah dilalui itu. Seandainya di kapal ini ada seorang saja pemandu wisatanya pasti perjalanan tidak terkesan “buta” terutama bagiku yang belum banyak mengetahui desa-desa di Palangka Raya. Tapi tak apa lah, nikmati saja walau tanpa pemandu.
            Jika di hitung, pasti sudah puluhan kilometer kapal ini berjalan dari dermaga. Rasanya sudah lama sejak kami meninggalkan dermaga tadi pagi. Perut pun sudah mulai terasa lapar. Tidak hanya aku, yang lain pun juga merasa lapar. Saat aku lihat jam dinding yang berada di kapal, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Ucapan-ucapan agak meledek terhadap ketua panitia pun mulai terdengar, yang mengekspresikan ketidak sabaran kami untuk makan siang.
            Tapi sebelum menuju makan siang itu, ada sedikit hal menarik di luar sana, di hutan seberang sana. Kami melihat orang utan yang bergelantungan di pohon, seketika membuat keadaan di kapal sedikit riuh, kapal pun agak sedikit tidak seimbang karena banyak yang berpindah ke sisi sebelah kiri untuk melihatnya lebih jelas. Namun itu tak lama, ini dikarenakan kapal tetap melaju dan semakin jauh jarak mata memandang satwa yang dilindungi itu, mahasiswa pun kembali ke tempatnya masing-masing.
            Tak lama setelah itu, akhirnya ketua panitia kegiatan Susur Sungai Kahayan ini mempersilakan semua mahasiswa untuk mengambil makanan yang telah disediakan. Antrean pun panjang, aku yang malas ikut mengantre menunggu saja hingga antrean tersebut berkurang. Jadi aku, Lungan, dan Sugito hanya duduk sambil menyaksikan yang lainnya mengantre, hingga nanti, hingga antreannya semakin sedikit.
            Akan aku ceritakan sedikit apa menu makan siang kami waktu itu. Sebelumnya pada saat awal-awal cerita ini aku sudah memberitahukan beberapa makanan yang tadi di bawa turun menuju kapal. Ada ayam goreng, mie goreng, pisang, dan ada sebuah wadah yang tertutup. Nah, akhirnya aku tahu apa isi wadah tertutup itu setelah wadah itu dibuka. Di dalamnya terdapat sayur sup ayam, dan aku yang tidak terlalu menyukainya, tidak akan mengambilnya.
            Kembali lagi pada keadaan saat itu, di kejauhan terlihat kembali seekor orang utan. Tapi kali ini jauh lebih jelas terlihat daripada yang sebelumnya. Ukurannya besar, terlihat sedang duduk santai di tepi sungai. Orang utan itu sesekali melirik ke arah kapal. Pada saat itu, kapal sengaja dihentikan, mungkin agar para penumpang bisa lebih menikmati pemandangan yang jarang ditemukan di tempat lain ini.
            Antrean semakin lama terlihat memendek, saatnya aku untuk mengambil makanan. Tidak perlu menunggu lama lagi, aku langsung bisa mendapatkan apa yang aku ingin aku makan. Karena aku mengambil makanan pada saat-saat terakhir, aku harus rela ayam goreng yang aku makan hanya sedikit dagingnya. Yang aku ambil, sepiring nasi ditambah mie goreng, tapi aku tidak mengambil sup ayam, karena aku tidak terlalu menyukainya. Sambil ditemani gerimis kecil di luar, dan hembusan angin digin, aku dan teman-temanku menikmati makanan yang telah kami ambil sendiri.
            Perut kenyang, dan mata pun mulai mengantuk. Setelah meletakkan piring bekas makananku tadi, aku pun berjalan ke arah kursi rotan yang kosong untuk duduk dan kembali mencoba menikmati suasana luar kapal. Agak jenuh juga, yang dilihat hanyalah hutan. Mata yang semakin berat, akhirnya tidak mampu lagi ku tahan, aku pun tertidur.
            Setelah itu apa yang terjadi aku juga tidak tahu, yang ada kapal sudah berbalik arah menuju dermaga. Tidak ada lagi yang bisa aku ceritakan, pada saat itu aku benar-benar sudah tertidur, tak tahu lagi keadaan di luar. Sepertinya tidak lama juga aku tertidur, aku pun berpindah ke tepi kapal untuk mencoba kembali menikmati perjalanan, tapi tak berapa lama aku duduk, titik-titik air gerimis kembali membasahi wajahku, tapi aku tak beranjak dari situ, karena tidak terlalu mengganggu.
            Hingga akhirnya aku kembali melihat busur oranye penopang jembatan kahayan, dan perjalanan yang indah sekaligus melelahkan ini akan segera berakhir. Aku yang sudah benar-benar lelah tak sabar lagi untuk meninggalkan kapal ini, dan kembali beristirahat di rumah.
            Setelah kapal mulai merapat di dermaga, cuaca masih mendung, mentari juga tak tampak. Para mahasiswa terlihat banyak yang tidak sabar untuk keluar dari kapal, termasuk juga aku. Aku pun yang akhirnya bisa keluar langsung saja meninggalkan lokasi menuju kembali ke rumah. Tetap, sore itu, sekitar pukul empat, aku masih menggunakan angkot. Rutenya sama, aku harus ke pasar terlebih dahulu, kemudian kembali melanjutkan perjalanan menggunakan angkot lain menuju ke rumah. Tapi jika kalian bertanya, apakah masih ada tukang roti yang pagi tadi, di tempat saat aku menunggu angkot tadi pagi? Tentu jelas sudah tidak ada, ia hanya akan berjualan di pagi hari, dan aku kapan-kapan akan membelinya. Dan selesai juga akhirnya ceritaku ini, Perjalanan di Bawah Langit Kahayan. Hingga akhirnya aku kembali tiba di rumah.
                       
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar