Hanya cerita tak sempurna untuk tugas mata kuliah menulis
Pagi itu
mentari tidak menampakkan sinarnya dengan sempurna, hanya samar terlihat. Angin
yang berhembus pun dingin menusuk tulang. Ku awali perjalanan hari itu dengan melihat
langit di depan rumahku. Kalau begini terus, pikirku hujan tak mungkin di tolak
lagi.
Sebelum berangkat aku agak sedikit bingung harus memakai apa, sepatu
ataukah sandal. Ya benar, hal tersebut memang tidak terlalu penting. Aku pun
berangkat menggunakan sepatu, dengan celana panjang jeans, ditambah baju
angkatan 2011 yang aku beli. Baju itu sebenarnya dipakai untuk PKL ke
Jakarta-Bandung kemarin, berhubung aku tidak mengikutinya, dan daripada sia-sia
ku beli, lebih baik aku pakai saja untuk mengikuti Kegiatan Susur Sungai itu,
“ini kan juga PKL”, pikirku dalam hati.
Cuaca
sepertinya memang tidak bisa diajak berteman pagi itu, hanya beberapa langkah
aku beranjak dari pintu rumah, titik-titik hujan pun mulai jatuh dan mulai
menyanyikan irama khas yang biasa ku dengar ketika air hujan jatuh menghantam
atap seng di rumahku. Sambil membayangkan apa yang akan terjadi nanti di
kegiatan Susur Sungai, aku menunggu rintik hujan agak reda di muara pintu rumah
sambil ditemani senandung “Romanza” yang aku mainkan sendiri menggunakan gitar
yang sudah tiga tahun kumiliki.
Aku lihat jam
dinding di rumahku, jarum panjang sudah berjalan hampir lima belas derajat
lingkaran dari saat kulihat pertama kali, itu berarti sudah hampir seperempat
jam aku menunggu di situ. Hujan pun sedikit demi sedikit mulai mereda. Tanpa
pikir panjang lagi aku langsung beranjak dari tempatku, meletakkan gitar
usangku, dan mulai melangkahkan kaki. Tapi, tak pernah aku lupa untuk pamit
dengan Ibuku, orang yang sering menasihatiku, walau sebentar, bagiku itu sangat
berarti.
Tidak seperti
biasa caraku menuju kampus yang menggunakan sepeda, waktu itu aku menggunakan
sarana transportasi umum, yang biasa aku bilang taksi. Padahal yang aku naiki
itu bukanlah taksi, melainkan angkutan kota, atau biasa disingkat dengan
sebutan “angkot”. Teman-temanku juga sering meledekku tentang kesalahan
penyebutan itu, tapi karena sudah terbiasa, hal itu aku anggap wajar saja. “wih,
udah banyak duit nih Gema, berangkat sekolah aja pake taksi”,
ledek temanku, saat ku kenang kembali masa SMA ku dulu. Ya aku sadar, ceritaku
agak melenceng dari tema Kegiatan Susur Sungai, maaf aku hanya sekedar
mengenang masa lalu.
Oke, kembali ke
tema. Angin dingin berhembus deras, dan semakin membuatku merasa dingin. Untuk
mendapatkan sebuah angkot, aku harus berjalan sekitar 500 meter dari rumahku,
itu dikarenakan rute perjalanan angkot tidak ada yang langsung menuju ke
rumahku, dan aku harus menunggunya di jalan Karet, sebuah jalan yang selalu
dilalui angkot yang akan menuju ke pasar.
Tak berapa lama
aku menunggu, dari sebelah kananku terlihat sebuah mobil berwarna oranye, ciri
khas dari angkot di Kota Palangka Raya. Saat mobil itu mulai mendekat ku lambaikanlah
tanganku untuk memanggilnya. Namun, tidak sesuai dengan pikiranku, sang sopir
di dalam mobil itu pun juga melambaikan tangan mengisyaratkan dia tidak
menerima penumpang waktu itu, dan semakin jelas saat kulihat pintu untuk keluar
masuk penumpang di mobil itu tertutup rapat. Tak ada pilihan lain selain aku
harus menunggu lagi.
Di pinggir
jalan tempat ku menunggu, aku sesekali meneguk air liur sendiri, karena tepat
di sebelah kanan ku berdiri, ada pedagang kaki lima yang membuat roti secara langsung di
gerobaknya dan dijualnya saat roti itu benar-benar baru matang. Bisa
dibayangkan sendiri betapa enaknya memakan sebuah roti yang baru saja matang.
Orang-orang pun banyak berkerumun di tempat ia berjualan, yang sedikit
membuatku terdesak menjauhi kerumunan itu. Aku berpikir “seenak apa roti ini
sehingga banyak orang yang rela mengantre untuk mendapatkannya, padahal cuaca
waktu itu sedang mendung, tak takutkah mereka bila nanti kehujanan?”. Tak
pentinglah ku bahas masalah itu, yang jelas nanti pasti akan ku beli, namun
sekarang bukanlah waktu yang tepat.
Sudah beberapa
kali aku melihat langit mendung, dan berdoa agar tidak turun hujan. Jika
seandainya hujan, itu bisa jadi malapetaka bagiku, karena tak mungkin ada satu
angkot pun yang akan beroperasi. Ku rogoh sakuku untuk mengambil ponsel untuk
melihat sudah berapa lama aku berdiri di sini. Belum sempat ku melihat jam di
ponselku, suara klakson dari sebuah angkot mengagetkanku. Inilah kelebihan dari
angkot di Kota Palangka Raya, ia akan menghampiri kita walaupun kita tidak melambaikan
tangan untuk memanggilnya, entahlah jika di kota lain.
Langsung saja
aku menghampiri angkot tersebut di seberang jalan, karena ia datang dari arah
sebelah kiri jalan. “kemana?”, ucap sopir angkot tersebut. “Langsung ke
Flamboyan bisa?”, ucapku. Aku berpikir, kalau saja bisa langsung menuju tempat
kegiatan, pasti akan mempersingkat waktu. Sebelum jam sembilan pagi seluruh
angkot tidak memiliki rute tetap, jadi bisa saja langsung mengantarkan ke
tempat tujuan tanpa harus mengganti ke angkot selanjutnya yang memiliki rute
sesuai dengan tujuan kita. “Kada bisa ding ai, aku handak ke pasar”.
Ucapnya, dengan menggunakan bahasa Banjar. Dan apa boleh buat, aku pun harus ke
pasar terlebih dahulu sebelum ke tempat kegiatan.
Di dalam angkot
angin semakin deras saja bertiup, dingin pun sudah tidak tertahankan lagi
merasuk menusuk ke dalam tulang, telapak tangan pun beberapa kali kugenggam dan
sedikit meniupnya agar terasa lebih hangat. Baju angkatan yang sebelumnya ku
gulung agar terlihat seperti baju berlengan pendek, kini ku lepas lipatannya
hingga menjadi lengan panjang. Sebenarnya keadaan dingin seperti ini tidaklah
mengganggu andaikan saja tadi aku ingat untuk membawa jaket.
Apa yang
kuharapkan agar tidak turun hujan rupanya tidak begitu berhasil. Terlihat
titik-titik air kecil menubruk dengan cepat di kaca depan mobil angkot.
Walaupun sepertinya hanya gerimis, tapi ini sedikit mengganggu, karena aku
nanti harus kembali menunggu angkot di pasar untuk meneruskan perjalanan. Apa
lagi yang bisa kulakukan selain berdoa, agar gerimis ini berhenti, dan aku
yakin tidak hanya aku yang berdoa agar gerimis ini berhenti, orang-orang yang
sedang berkerumun dan mengantre untuk membeli roti di tempat ku berdiri
menantikan angkot tadi, pasti juga melakukan hal yang sama.
Tak ada hal
yang begitu menarik di dalam angkot tersebut, yang ada hanya aku yang
kedinginan menggigil, mungkin karena tubuhku yang kurus, dan tidak memiliki
banyak daging untuk menahan suhu udara yang dingin. Ya, aku bukanlah seorang
yang menerti banyak tentang biologi, jadi terserah aku saja mengambil
kesimpulan penyebab mengapa aku begitu kedinginan bahkan sampai menggigil
seperti ini.
Mungkin hanya
sekitar lima belas menit aku berada di angkot. Angkot yang membawaku telah
sampai di tempat tujuan, yaitu pasar besar di Kota Palangka Raya, aku pun turun
tepat di dekat simpangan yang di dalamnya terdapat Sandung Ngabe Sukah di jalan
Dr. Murdjani itu. Tak lupa sebelumnya aku membayar jasa angkot tersebut,
sebesar Rp 3.000,00. Jika aku tak membayarnya, tak perlu kuceritakan apa yang
akan terjadi.
Saat aku keluar
dari angkot itu, keadaan cuaca masih saja gerimis. Tapi syukurnya, tepat di
belakang angkot pertamaku, langsung ada sebuah angkot yang sopirnya menanyakan
“lurus?”. Tanpa ku menjawabnya aku langsung saja memasuki angkot tersebut. Bagi
orang yang kurang begitu paham dalam menaiki angkot di Kota Palangka Raya
mugkin tidak mengerti arti kata “lurus” tersebut. “Lurus” adalah sebutan untuk
jalur ke arah jalan Tjilik Riwut, karena jalur tersebut melewati daerah
Flamboyan tempat dilaksanakannya kegiatan Susur Sungai itu, maka aku pun
menaikinya.
Waktu itu masih
pukul setengah tujuh pagi, tak heran di angkot tersebut penuh sesak dengan para
pelajar SMP dan SMA, aku pun terpaksa duduk di muara pintu penumpang. Karena
aku duduk di muara pintu, tetesan-tetesan kecil air dari awan kelabu tak lagi
terelakkan membasahi celana dan sepatuku. Walaupun begitu aku tak pernah mempedulikannya,
bagiku ini belumlah sampai pada perjalan sebenarnya, Perjalanan di Bawah Langit
Kahayan. Bahkan kapal susur sungainya pun belum aku lihat secara nyata.
Sebelumnya, aku hanya pernah melihatnya di koran dan televisi.
Di dalam
perjalanan menuju tempat kegiatan Susur Sungai, aku kembali teringat kenangan
waktuku di SMA, karena jalur angkot yang kunaiki melewati SMA 2 Palangka Raya,
tempat ku bersekolah dahulu, tempat di mana aku dan teman-temanku bingung
menentukan jurusan yang akan diambil kelak di
Perguruan Tinggi. Dan maaf, cerita ini kembali melenceng dari tema.
Hanya sebentar,
tak begitu lama. Aku menghentikan angkot tepat di lampu merah dekat kantor PU.
Karena hanya dari tempat itu, jarak yang paling dekat dengan lokasi kegitan,
Tugu Peletakkan Batu Pertama. Setelah aku membayar jasa angkot, ditemani rintik
hujan yang mulai deras, aku pun berjalan dengan sesekali berlari-lari kecil
menuju lokasi, sekitar 50 meter dari tempatku berhenti. Sedikit kecewa, karena di
sana hanya ada seorang saja, bahkan aku tak tahu apakah ia adalah mahasiswa
PBSI, dan aku yang sudah berusaha keras hingga sampai ke situ merasa apa yang
kulakukan semua tadi hanya sia-sia. “Tak apalah, ini demi kesuksesanku di PBSI”
ucap hatiku, sambil menenangkan hati.
Apa? Apa yang
akan kulakukan sekarang? Yang ada aku bingung sendiri, bahkan aku hampir saja
menghubungi temanku, Norhidayah, ketua kami, untuk menanyakan apakah benar di
sini tempat kegiatan susur sungai? Saat itu aku hanya berpedoman pada waktu
yang diberikan dua hari yang lalu melalui sebuah pesan singkat di ponsel. Di
dalamnya tertulis kegiatan akan dilaksanakan pada pukul 06.30 WIB. Dan apa yang
terjadi sekarang, aku datang sudah lewat dari pukul setengah tujuh pagi, namun
seperti yang ku katakan tadi, hanya ada seorang.
Sebelum niatku
untuk menghubungi temanku tadi terlaksana, aku dikejutkan dengan sebuah
panggilan dari seorang perempuan yang berdiri di sisi sebelah kanan belakang
tugu itu. “Norhidayah mana?”, ucapnya. Dan aku bilang saja “belum datang dia”,
memang hanya itu yang bisa ku jawab. Siapakah perempuan itu? Yang jelas dia
dari kelas B angkatan 2011, dan bodohnya aku, aku tidak tahu namanya, aku hanya
mengenal wajahnya saja, itu pun saat aku mulai mendekat dengan dia.
Seketika saja
keraguanku tentang masalah tempat kegiatan susur sungai buyar, cukup dengan
melihat orang yang aku kenal juga sebagai mahasiswa PBSI, itu sangat
membuktikan bahwa di tempat itu memang benar akan dilaksanakan kegiatan Susur
Sungai.
Belum, cerita ini masih belum sampai pada intinya. Aku masih akan
menceritakan apa yang terjadi sebelum kakiku ini menginjak papan dari kapal
Susur Sungai itu. Oke, setelah aku yakin bahwa inilah tempatnya, aku langsung
saja turun ke bawah. Menuruni tangga yang curam hingga akhirnya aku berada di
tepi dermaga. Oh iya, jalan menuju ke dermaga itu tepat berada di belakang Tugu
Peletakkan Batu Pertama.
Lagi, saat aku
pertama melihat kapal itu secara nyata, aku sedikit kecewa. Tapi hanya sadikit,
masalahnya hanya kapal tersebut sudah tak seindah saat aku melihatnya di koran
atau televisi beberapa tahun yang lalu. Mungkin ini dikarenakan oleh kurangnya
perawatan. Siapa yang harus disalahkan? Masalah itu tak akan ku bahas pada
cerita ini.
Dingin, apalagi
di situ angin terasa semakin kencang saja, semakin menusuklah suhu rendah itu.
Aku lihat ke bawah, arus sungai kahayan terlihat deras, “pasti di daerah lain telah
terjadi hujan lebat” pikirku. Dan ku harap hujan lebat tak mengguyur Kota
Palangka Raya. Jika hujan, perjalanan ini pasti akan sangat tak berkesan.
Jujur, aku mengikuti kegiatan ini lebih dari sekedar memenuhi tugas, tapi aku
juga ingin mendapatkan kepuasan dan kesan yang indah dari perjalanan ini.
Maklum saja, aku baru pertama kali megikuti kegiatan ini.
Kulihat ke
atas, memandang langit, tetap tak berubah, tetap saja tak terlihat mentari pagi
itu, gumpalan awan yang ada malah semakin menjadi-jadi. Waktu yang semakin
berlalu sia-sia menambah kesuraman di pagi itu. Mengapa aku katakan sia-sia? Sia-sia
di sini bukan berarti aku mengikukuti kegiatan yang sia-sia, kegiatan ini
sangatlah bermanfaat dan menarik, tapi sia-sia maksudku itu adalah waktu yang mengaret
dengan indahnya.
Sedikit
bercerita tentang apa yang aku bayangkan tadi saat aku menunggu rintik hujan
sambil memainkan gitar di rumah tadi. Yang aku bayangkan adalah seperti ini, aku
sampai tanpa kebasahan sedikitpun, saat ku tengadahkan kepalaku ke atas, langit
sudah mulai cerah, saat ku melihat lokasi kegiatan dari jauh sudah banyak
teman-teman yang menunggu, dan tak berapa lama kemudian kapal pun berangkat
sesuai dengan perkiraanku yaitu 30 menit setelah jam setengah tujuh pagi. Tapi
itu semua hanya khayalan semata, dan tak mungkin khayalan akan selalu menjadi
nyata.
Ku coba melihat
jam, ternyata sudah satu jam berlalu sejak aku tiba di lokasi tempat kegiatan
ini. Mahasiswa angkatan 2010 pun sudah mulai berdatangan, namun rasanya waktu
itu dosen-dosen masih belum datang. Ya tetap saja aku harus menunggu, sambil
menatap indahnya busur oranye yang menopang beratnya jembatan kahayan dengan
kawat-kawat bajanya. Sangat menawan melihatnya dari bawah sini.
Sambil
menghabiskan waktu yang benar-benar mengaret ini. Aku pun
berbincang-bincang sebentar dengan kakak tingkat. Yang diperbincangkan tidak
jauh dari hal kepanitiaan keakraban dan penyuluhan, maklum angkatan 2010 adalah
mantan panitia keakraban dan penyuluhan untuk kami, angkatan 2011. Banyak hal
yang belum ku ketahui akhirnya terkuak melalui perbincangan itu, dan seperti
biasa aku tidak akan menceritakannya pada ceritaku ini. Ini kan cerita
tentang Susur Sungai, bukan cerita tentang masalah kepanitiaan.
Setelah puas
berbincang, aku pun berjalan-jalan sebentar melihat-lihat keadaan sekitar
dermaga, sesekali aku turun lebih ke bawah lagi, untuk melihat lebih jelas kapal
yang akan kunaiki nanti itu. Tak berapa lama aku berjalan, lokasi pun sudah
mulai terlihat ramai, beberapa dosen juga sudah mulai berdatangan, tapi
perhatianku tidak tertuju pada semua itu. Makanan untuk nanti makan siang, itu
yang menarik perhatianku, ada ayam goreng, mie, dan ada wadah tertutup di antaranya,
entahlah apa isinya. Melihat semua itu membuat aku menjadi lapar, padahal aku
sudah sarapan pagi tadi.
Di jalan menuju
ke bawah, ke tepi dermaga, ada beberapa saung di pinggirnya. Aku pun yang
tadinya berada di bawah, naik kembali ke atas, namun tidak sampai keluar ke
tugu di depan, masih di sekitar situ, dan aku melihat beberapa temanku duduk di
salah satu saung, langsung saja aku menghampiri mereka dengan tujuan yang tidak
lain untuk menghabiskan waktu.
Sebenarnya, semakin
lama aku menceritakan cerita narasi ini, semakin membosankan saja yang aku
rasa. Bagaimana tidak? Dari tadi ceritaku masih berputar-putar pada saat aku
bahkan belum menyentuh kapal Susur Sungai yang akan aku naiki, padahal inti
cerita ini hanyalah menceritakan apa saja yang menarik dari kegiatan Susur
Sungai. Ya, harap maklum saja, aku bukanlah seorang penulis yang pandai, aku
hanya bercerita apa adanya, dengan cara mengonversikan ingatan yang terbatas
ini ke dalam bentuk tulisan.
Kembali lagi
pada cerita. Ibu Cues, dosen mata kuliah Fonologi di kelas kami, terlihat asik
berbincang dengan mahasiswa di sebelah saung kami. Aku, Lungan, dan Sugito,
juga asik berbincang dengan arah pembicaraan yang ke sana ke mari,
sampai-sampai rumah kayu yang berada di bawah, di belakang tempatku duduk,
tidak luput dari perbincangan.
Tak lama kakak
tingkat yang selaku ketua dari kegiatan acara Susur Sungai datang. Sedikit
memberi secercah harapan yang mulai pudar dimakan karetnya waktu. Aku
pikir, jika ketuanya sudah tiba, apa lagi yang ditunggu? Pasti sebentar lagi
acaranya akan segera dimulai. Yaitu, Susur Sungai Kahayan.
Namun, selalu
saja tidak sesuai harapanku. Aku yang sudah mulai bersemangat, harus menunda
sebentar untuk menaiki kapal itu. Aku terlupa, dosen pembina yang mengadakan
acara ini, Pak Yohanes Kalamper belumlah datang. Pikir saja, bagaimana kegiatan
bisa terlaksana jika yang punya acara belum datang? Ya apa boleh buat, aku
harus melakukan hal yang aku benci lagi, yaitu menunggu.
Langit akhirnya
mulai menampakkan sedikit mentarinya, namun tetap, langit sepertinya tidak
begitu ikhlas untuk memberikan sinar mentarinya dengan sempurna, masih saja terlihat
samar, udara pun masih terasa dingin, walaupun tidak sedingin saat aku berada
dalam angkot tadi.
Berbeda jauh
dengan langit dan udara pagi itu, aku dan teman mahasiswa yang lain selalu
ikhlas dan bersabar dalam menunggu kegiatan dimulai dengan diwarnai tawa dan
canda yang hangat. “Tinggal menunggu Pak Kalamper saja, pasti acaranya akan
segera dimulai” ucapku dalam hati.
Akhirnya, dosen
yang ditunggu tiba juga. Dengan menggunakan tas ransel besar, dan jaket
berwarna hitam beliau terlihat sangat sehat dan berjiwa muda, tidak kalah
dengan teman-teman yang berada di belakangnya yang juga membawa barang-barang
bawaan beliau. Aku pun sedikit mengkhayal, jika kelak nanti aku sampai pada
umur seperti beliau, akankah aku akan sekuat beliau? Atau, akankah umurku
sampai seperti beliau? Semua rahasia Tuhan.
Saat itu waktu
menunjukkan pukul 09.00 WIB, itu sama saja seperti aku dipaksa untuk melakukan
hal yang paling aku benci lebih dari dua jam. Ada sedikit penyesalan juga waktu
itu, mengapa aku hadir begitu cepat, bahkan aku rela diguyur rintik hujan saat
di perjalanan menuju lokasi, yang pada akhirnya aku jua harus menunggu selama
ini. “Tak perlu menyesali hal yang merubahnya saja tidak akan mungkin bisa lagi,
lihat saja yang ada di depan” terlintas seketika kalimat itu di pikiranku,
kalimat yang sedikit bisa menenangkan hati.
Terlihat banyak
mahasiswa yang sedikit berdesak untuk masuk ke kapal wisata, mungkin karena
ingin mendapatkan tempat yang ideal. Hanya menerka saja, mungkin angkatan 2010
nanti akan melakukan kegiatan kepemanduan wisata, seperti kami nanti saat UAS
mata kuliah Retorika, yang juga dibina oleh bapak Kalamper. Dan kami, angkatan
2011 mungkin hanya bertugas sebagai penonton yang setia. Selain itu, yang lebih
penting dari sebagai penonton, kami harus mampu menikmati dan menemukan
kesan-kesan terindah dalam perjalanan yang hanya berlangsung selama 6 jam ini.
Akhirnya, sampai juga ceritaku ini pada saat aku mengikuti kegiatan
Wisata Susur Sungai Kahayan. Setelah lama berputar-putar dalam cerita
perjalanan dari rumah menuju lokasi, hingga cerita tentang waktu yang mengaret
dengan begitu indah dan sempurnanya. Saatnya aku bercerita tentang Perjalanan
di Bawah Langit Kahayan. Mengapa aku beri judul seperti itu? Aku tidak
memungkiri, langit di pagi itu sangat mempengaruhi dalam ceritaku ini, awan
kelabu, mentari samar, rintik hujan, selalu menemaniku dalam perjalanan ini.
Dan Kahayan, ini karena kegiatan susur sungai ini akan menyusuri sungai
Kahayan, sungai yang membelah Kota Palangka Raya, dan sungai terbesar di Kota
Palangka Raya.
Saat kami akan
menaiki kapal
|
Aku saat itu
memilih tempat di lantai pertama, karena aku ingin duduk di pinggir kapal,
rasanya lebih indah jika kita melihat suasana di luar dan jika kita sedikit
menunduk ke bawah kita akan melihat sungai kahayan yang mengalir deras. Namun,
ada satu hal yang sedikit mengganggu saat aku akan duduk. Bekas dari turunnya
hujan di pagi tadi masih ada, sisi kapal yang akan ku duduki basah. Terpaksa,
aku harus mengambil beberapa lembar kertas untuk mengeringkannya sekaligus
sebagai alas untuk aku duduk. Tak hanya aku, teman-temanku juga melakukan hal
yang sama.
Sebelum mesin kapal dinyalakan, ada seseorang yang mengingatkan
bahwa kami harus menjaga keseimbangan kapal, mungkin dia adalah orang yang
mengelola wisata susur sungai ini. Jadi, beberapa mahasiswa yang agak
berkerumun di salah satu sisi kapal diharuskan mengimbangi kapal dengan
berpindah ke sisi lain kapal. Aku yang sudah terlanjur mendapatkan posisi yang
ku suka, tidak beranjak dari tempatku, dan biarkan saja yang lain ke sisi
sebelah untuk mengimbangi kapal.
|
Suara mesin kapal pun mulai berbunyi, pertanda kapal ini akan
segera berangkat. Tak lama, kapal pun bergerak dari dermaga, menuju ke arah
jembatan kahayan. Kepalaku agak sedikit ku keluarkan agar mataku bisa melihat
lebih jelas bentuk jembatan kahayan dari bawah sini. Sungguh indah, terutama
busur oranye yang seakan membelah sungai kahayan itu. Seandainya aku memiliki
sebuah kamera, hal itu pastilah akan ku abadikan.
Setelah puas
melihat jembatan kahayan, aku pun mulai memerhatikan apa yang akan dilakukan
angkatan 2010 pada kegiatan susur sungai ini. Jujur, aku tidak tahu sama sekali
tentang apa yang akan mereka kerjakan, yang terlintas dipikiranku hanyalah
mereka akan memandu jalannya wisata susur sungai ini. Tapi ternyata bukan,
setelah mendengarkan pengarahan dari dosen, aku akhirnya mengerti, bahwa mereka
akan mengadakan penyuluhan tentang Bahasa Indonesia di sini. Peraturannya
setiap kelompok akan diwakili oleh satu anggotanya untuk menyuluh, dan durasi
untuk menyuluhnya maksimal 20 menit.
Ada tiga materi
yang akan disuluhkan oleh perwakilan tiga kelompok. Yang aku ingat adalah tentang
kesalahan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, WC sebenarnya dalam
bahasa indonesia yang baik kita tidak perlu menyebutkannya dengan sebutan
“we-ce”, tapi kita bisa menyebutnya dengan sebutan “kakus”, jauh lebih enak
didengar. Selanjutnya, aku tidak begitu memerhatikannya, aku hanya duduk sambil
sesekali melihat ke arah luar, namun masih belum ada yang menarik.
Di perjalanan
ada hal yang sedikit menarik perhatianku, ada dua buah pesawat yang terparkir
di tepi sungai. Ukurannya mungkin hanya separuh kapal yang kami naiki. Aku baru
pertama kali melihatnya sedekat ini, biasanya aku hanya melihatnya saat pesawat
itu mengudara. Ingin rasanya aku menaiki pesawat itu, tapi aku pikir pasti
biaya tidak sedikit, itu pun kalau pesawat itu benar-benar untuk wisata.
Aku lihat di salah satu sudut kapal, ada banyak buah apel, aku
yakin itu adalah salah satu bahan yang nanti akan digunakan nanti untuk membuat
jus bernutrisi milik pak Kalamper. Semoga saja enak, itu saja yang kupikirkan,
biasanya yang namanya makanan yang sehat itu tidak enak, apalagi jus ini
dicampur dengan berbagai macam bahan. Apa itu, aku juga tidak tahu.
Sudah berapa kilometer kapal ini berjalan aku juga tidak tahu,
rasanya sudah lama sejak kami meninggalkan dermaga. Jus yang tadi disiapkan
sepertinya juga sudah selesai dibuat. Kami pun semua dipersilakan untuk
mengambil gelas di atas meja dan meminum jusnya. Aku, tanpa pikir panjang
langsung saja mengambilnya, aku yang sudah sangat tergiur akan kesegarannya
sejak melihat susunan gelas berisikan jus buah itu memang benar-benar tak bisa
menahannya. Kebetulan aku duduk berada di dekat meja tempat jus itu tersusun.
Sambil
menikmati jus yang dibagikan tadi, yang temanku bilang tidak enak ini, tapi
bagiku ini rasanya enak. Aku mencoba untuk menikmati perjalanan. Melihat hutan
yang rindang di seberang sana dan sesekali ada sungai-sungai kecil yang masuk
menuju ke dalam hutan, entah menuju kemana sungai-sungai kecil itu. Langit pun
sepertinya sudah mulai mengizinkan sinar mentari untuk menghangatkan udara di
sini, walaupun tetap tidak terlihat sempurna. Suasana hangat sudah mulai
akhirnya perlahan mengusir rasa dingin yang telah aku rasakan sejak tadi.
“Apa lagi ini?”, ucapku agak berbisik pada temanku. Aku mengira
hanya jus tadi minuman yang dibagikan, ternyata masih ada satu lagi, yaitu
minuman berwarna cokelat kekuningan serupa teh. Aku pun teringat kembali saat
aku mengikuti mata kuliah Retorika di kampus, biasanya beliau membawa minuman
sejenis teh ini, teh herbal namanya. Penasaran juga sebenarnya aku dengan rasa
teh itu, teh kesehatan yang walaupun aku hanya meminumnya satu gelas, dan
menurutku pasti tidak memiliki efek apa-apa terhadap tubuhku, tapi aku akan
meminumnya.
Ku ambillah
segelas teh tersebut. Ku hirup minuman itu dengan perlahan, barang kali rasanya
tidak enak. Dan saat hirupan pertama, benar saja apa yang ku kira tadi, minuman
ini benar-benar tidak enak. Maaf, aku pun hampir mual meminumnya, tapi aku
mencoba untuk tetap memberikan ekspresi wajah yang biasa, takutnya beliau nanti
tersinggung. Memang jauh sekali rasanya dengan jus yang tadi, bahkan aku
mengambil satu gelas jus lagi untuk memaniskan air liurku yang pahit bekas
meminum teh herbal ini.
Aku mencoba
bertanya kepada Pak Kalamper tentang bahan yang ada di dalam minuman itu, “Pak,
ini minuman campurannya apa?”. Lalu beliau jawab, “lidah buaya dan teh herbal”.
Pantas saja rasanya tidak enak, ternyata minuman yang aku minum tadi telah
bercampur dengan lidah buaya, tumbuhan yang biasanya digunakan untuk
menghitamkan rambut. Hanya beberapa teguk, aku letakkan saja gelas itu di
bawah.
Sementara aku
memaniskan air liurku menggunakan jus, aku tengok keadaan di luar, ku lihat
awan mendung kembali menyelimuti langit. Sinar mentari malah tak terlihat sama
sekali. Tapi, untungnya hujan masih belum turun, dan kuharapkan tidak akan
turun. Di seberang sana aku sedikit antusias saat melihat beberapa kain kuning
bergantung diikatkan pada ranting-ranting pohon, namun hanya kain kuning yang
bergantungan, tanpa ada bangunan sebuah pun di situ. Aku pikir, pasti di situ
salah satu tempat yang dianggap keramat oleh penduduk setempat.
Air sungai kahayan
tanpa kusadari berubah menjadi lebih gelap, hampir berwarna hitam, padahal saat
pertama kali berangkat, air sungai berwarna cokelat cerah, warna khas dari
lumpur tanah liat. Mungkin keadaan tanah di dasar sungai kahayan yang
mempengaruhi warna air sungainya. Kesimpulan tadi hanya kemungkinan saja,
karena aku tidak begitu mengerti tentang ilmu Geografi, jadi terserah aku
sajalah mengambil kesimpulan seperti apa.
Tak lama kemudian
kapal menemui sebuah simpang tiga. Menariknya bukan simpang tiganya, melainkan
di situ terdapat tempat keramat bekas pertapaan gubernur Kalimantan Tengah yang
pertama Tjilik Riwut. Untuk menemukannya sangatlah mudah, tempat itu begitu
mencolok dengan banyak gantungan kain-kain berwarna kuning yang diikatkan di
ranting, dan di dalamnya terdapat sejenis bangunan kecil yang terbuat dari kayu,
dan ini yang membedakan dengan tempat pertama yang juga serupa sebelumnya.
Sebenarnya aku berharap kapal akan berhenti sejenak dan mendekat ke tempat itu,
aku ingin melihatnya lebih jelas, namun kapal tetap berjalan walaupun
kecepatannya sedikit diturunkan karena kapal akan berbelok.
Tidak ada yang
menarik setelah kapal kami melewati simpang tiga sungai tadi, sisi kiri dan
kanan sungai hanyalah hutan, tak ada bangunan sedikitpun. Aku berharap ada
hal-hal yang menarik lagi yang akan aku temukan, mengingat waktu perjalanan
masih panjang, bahkan kapal pun belum berbalik arah untuk kembali ke dermaga.
Bercerita tentang
suasana saat itu. Tidak ada yang dapat banyak aku ceritakan, cuaca masih sama
seperti yang tadi, dan sepertinya aku juga malas untuk menceritakannya. Tidak,
aku tidak boleh malas, cerita ini harus jelas, walaupun dokumentasinya kurang.
Aku harus menyelesaikan cerita ini.
Suasana di dalam
kapal terdengar riuh dengan tawa dan canda para mahasiswa, terlihat jelas
mereka menikmati perjalanan ini. Tapi, aku tidak mengetahui apakah mereka juga
mendapatkan kepuasan dalam perjalanan ini. Kepuasan hanya bisa terlihat saat
seluruh kegiatan ini selesai. Dan aku, alhamdulillah bisa menikmati perjalanan
hingga saat ini.
Sebenarnya,
beberapa saat setelah aku meminum jus bernutrisi tadi, perutku jadi merasa
tidak enak, rasanya mulas. Aku pun berjalan dari tempat aku duduk sejak kapal
mulai berangkat tadi ke bar kecil di sudut kapal. Mengapa ke bar? Di bar ada
toiletnya? Bukan, aku ke sana karena aku tidak mengetahui di mana letak toilet
di kapal tersebut, mau tidak mau aku harus bertanya kepada salah satu anak buah
kapal yang berada di sana, dia pun memberitahu bahwa toilet berada di lantai atas.
Langsung saja aku ke atas, sekalian mau tahu bagaimana suasana di atas. Tapi,
karena aku sudah teramat mulas, aku tidak memperhatikan lagi suasana di atas,
aku langsung saja aku menuju toilet. Agak bingung, karena ada beberapa pintu di
sana, di antaranya adalah kamar penumpang, jadi aku berfikir saja bahwa toilet
biasanya berada di daerah paling belakang. Dan benar saja, di situ memang benar
letak toilet. Setelah aku keluar dari toilet, aku menikmati sebentar suasana
dan melihat pemandangan alam sekitar dari lantai atas. Tidak lama aku di sana,
aku merasa agak bosan berada di lantai atas. Karena, tempatnya agak sempit dari
yang di bawah. Aku pun kembali turun ke bawah dan kembali duduk di tempat
semula, dipinggir kapal, dan menatap hutan rindang dan sesekali dijumpai
pemukiman penduduk.
Tahukah?
sebenarnya aku agak pusing dalam menulis cerita ini, dan semoga yang membaca
tidak ikut pusing. Memang sih hanya menceritakan kembali apa yang telah
aku lakukan pada kegiatan susur sungai kemarin, namun jika menulis di bawah
tekanan seperti ini rasa sakit kepala memang tidak bisa dihindari lagi. Tapi,
apapun alasannya, aku harus menyelesaikan tulisanku ini tepat waktu dan
secepatnya, karena tiga jenis karangan lainnya masih menunggu untuk dikerjakan.
Maaf, aku sadar, paragraf ini sangat jauh melenceng dari tema.
Kembali lagi ke
cerita. Banyak pemukiman masyarakat yang kami lewati sejak kami mulai berangkat
tadi. Rata-rata perumahan penduduk di daerah tersebut terbuat dari kayu, dan
perumahan tersebut ditinggikan dari tanah agar tidak banjir saat air sungai
pasang. Yang unik, ada sebuah pemukiman yang diapit oleh dua aliran sungai,
jadi pemukiman tersebut seakan-akan berada di tengah sungai, layaknya sebuah
pulau kecil di antara dua daratan yang besar. Kapal kami pun berbalik arah
menuju sisi sungai yang berada di sebelahnya.
Kembali aku
ceritakan bagaimana keadaan cuaca pada saat itu. Pada perjalanan susur sungai
ini, awan sungguh banyak yang bertumpuk di langit, tidak pernah sedikitpun
cahaya mentari yang terlihat sempurna dari awal kami berangkat tadi.
Gerimis-gerimis kecil sewaktu-waktu turun tanpa pernah permisi. Untungnya tidak
ada hujan lebat sampai saat kapal berbelok arah tadi. Dan tetap ku harapkan
tidak hujan tidak akan turun dari langit. Bila hujan, dampaknya sudah pasti
seperti yang aku ceritakan di awal-awal tadi, tidak berkesan.
Sampai di desa
mana sudah aku ini? Aku juga tidak tahu, sudah banyak desa rasanya yang sudah
dilalui kapal, dan aku tak tahu apa nama desa-desa yang telah dilalui itu.
Seandainya di kapal ini ada seorang saja pemandu wisatanya pasti perjalanan
tidak terkesan “buta” terutama bagiku yang belum banyak mengetahui desa-desa di
Palangka Raya. Tapi tak apa lah, nikmati saja walau tanpa pemandu.
Jika di hitung,
pasti sudah puluhan kilometer kapal ini berjalan dari dermaga. Rasanya sudah
lama sejak kami meninggalkan dermaga tadi pagi. Perut pun sudah mulai terasa
lapar. Tidak hanya aku, yang lain pun juga merasa lapar. Saat aku lihat jam
dinding yang berada di kapal, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB.
Ucapan-ucapan agak meledek terhadap ketua panitia pun mulai terdengar, yang
mengekspresikan ketidak sabaran kami untuk makan siang.
Tapi sebelum
menuju makan siang itu, ada sedikit hal menarik di luar sana, di hutan seberang
sana. Kami melihat orang utan yang bergelantungan di pohon, seketika membuat
keadaan di kapal sedikit riuh, kapal pun agak sedikit tidak seimbang karena banyak
yang berpindah ke sisi sebelah kiri untuk melihatnya lebih jelas. Namun itu tak
lama, ini dikarenakan kapal tetap melaju dan semakin jauh jarak mata memandang
satwa yang dilindungi itu, mahasiswa pun kembali ke tempatnya masing-masing.
Tak lama setelah
itu, akhirnya ketua panitia kegiatan Susur Sungai Kahayan ini mempersilakan
semua mahasiswa untuk mengambil makanan yang telah disediakan. Antrean pun
panjang, aku yang malas ikut mengantre menunggu saja hingga antrean tersebut
berkurang. Jadi aku, Lungan, dan Sugito hanya duduk sambil menyaksikan yang
lainnya mengantre, hingga nanti, hingga antreannya semakin sedikit.
Akan aku ceritakan
sedikit apa menu makan siang kami waktu itu. Sebelumnya pada saat awal-awal
cerita ini aku sudah memberitahukan beberapa makanan yang tadi di bawa turun
menuju kapal. Ada ayam goreng, mie goreng, pisang, dan ada sebuah wadah yang
tertutup. Nah, akhirnya aku tahu apa isi wadah tertutup itu setelah
wadah itu dibuka. Di dalamnya terdapat sayur sup ayam, dan aku yang tidak
terlalu menyukainya, tidak akan mengambilnya.
Kembali lagi pada
keadaan saat itu, di kejauhan terlihat kembali seekor orang utan. Tapi kali ini
jauh lebih jelas terlihat daripada yang sebelumnya. Ukurannya besar, terlihat
sedang duduk santai di tepi sungai. Orang utan itu sesekali melirik ke arah
kapal. Pada saat itu, kapal sengaja dihentikan, mungkin agar para penumpang
bisa lebih menikmati pemandangan yang jarang ditemukan di tempat lain ini.
Antrean semakin
lama terlihat memendek, saatnya aku untuk mengambil makanan. Tidak perlu
menunggu lama lagi, aku langsung bisa mendapatkan apa yang aku ingin aku makan.
Karena aku mengambil makanan pada saat-saat terakhir, aku harus rela ayam
goreng yang aku makan hanya sedikit dagingnya. Yang aku ambil, sepiring nasi
ditambah mie goreng, tapi aku tidak mengambil sup ayam, karena aku tidak
terlalu menyukainya. Sambil ditemani gerimis kecil di luar, dan hembusan angin
digin, aku dan teman-temanku menikmati makanan yang telah kami ambil sendiri.
Perut kenyang, dan
mata pun mulai mengantuk. Setelah meletakkan piring bekas makananku tadi, aku
pun berjalan ke arah kursi rotan yang kosong untuk duduk dan kembali mencoba
menikmati suasana luar kapal. Agak jenuh juga, yang dilihat hanyalah hutan.
Mata yang semakin berat, akhirnya tidak mampu lagi ku tahan, aku pun tertidur.
Setelah itu apa
yang terjadi aku juga tidak tahu, yang ada kapal sudah berbalik arah menuju
dermaga. Tidak ada lagi yang bisa aku ceritakan, pada saat itu aku benar-benar
sudah tertidur, tak tahu lagi keadaan di luar. Sepertinya tidak lama juga aku
tertidur, aku pun berpindah ke tepi kapal untuk mencoba kembali menikmati
perjalanan, tapi tak berapa lama aku duduk, titik-titik air gerimis kembali
membasahi wajahku, tapi aku tak beranjak dari situ, karena tidak terlalu
mengganggu.
Hingga akhirnya
aku kembali melihat busur oranye penopang jembatan kahayan, dan perjalanan yang
indah sekaligus melelahkan ini akan segera berakhir. Aku yang sudah benar-benar
lelah tak sabar lagi untuk meninggalkan kapal ini, dan kembali beristirahat di
rumah.
Setelah kapal
mulai merapat di dermaga, cuaca masih mendung, mentari juga tak tampak. Para
mahasiswa terlihat banyak yang tidak sabar untuk keluar dari kapal, termasuk
juga aku. Aku pun yang akhirnya bisa keluar langsung saja meninggalkan lokasi
menuju kembali ke rumah. Tetap, sore itu, sekitar pukul empat, aku masih
menggunakan angkot. Rutenya sama, aku harus ke pasar terlebih dahulu, kemudian
kembali melanjutkan perjalanan menggunakan angkot lain menuju ke rumah. Tapi
jika kalian bertanya, apakah masih ada tukang roti yang pagi tadi, di tempat
saat aku menunggu angkot tadi pagi? Tentu jelas sudah tidak ada, ia hanya akan
berjualan di pagi hari, dan aku kapan-kapan akan membelinya. Dan selesai juga
akhirnya ceritaku ini, Perjalanan di Bawah Langit Kahayan. Hingga akhirnya aku
kembali tiba di rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar